Pages

Minggu, 25 Mei 2014

KRITIK DAN MEDIASI SENI


            Tiga hal penting dalam suatu seni pertunjukan yaitu seni, seniman, dan penonton. Ketiga hal tersebut saling berkaitan satu sama lainnya. Maka, kalu salah satu diantaranya tidak ada, misalnya seni dan seniman saja yang ada, tanpa penonton hal tersebut belum bisa dikatakan karya seni pertunjukan. Sama juga halnya dengan seniman dan penonton saja yang ada, tanpa adanya karya seni, maka itu belum juga bisa dikatakan karya seni. Karya film juga merupakan karya seni pertunjukan, hanya saja bedanya karya film merupakan seni pertunjukan yang tidak habis dimakan waktu. Seni pertunjukan, misalnya teater itu merupakan karya seni pertunjukan yang habis dimakan waktu.
            Adanya karya seni yang diciptakan seniman yang akhirnya dipamerkan atau dipertontonkan kepada penoton. Proses karya seni baik itu seni pertunjukan maupun seni rupa tidak bisa lepas dari kritikan dan mediasi seni. Tidak hanya samapai pada proses mempertontonkan karya pertunjukan, selesai tugas seorang seniman. Seorang seniman sangat memerlukan kritik dalam penciptaan karya seninya. Jangan dianggap kritikan itu hanya sebagai penghakiman, penghakiman disini merupakan membangun untuk hal yang lebih baik lagi, layak atau layaknya suatu seni pertunjukan. Kritik merupakan sesuatu hal yang berfungsi untuk mengevaluasi, menilai baik atau buruk suatu karya seni dan sangat berguna untuk penciptaan karya selanjutnya. Mediasi seni merupakan suatu hal untuk mencoba mempublikasi suatu karya seni, bisa melalui jurnal seni atau koran pada umumnya.
            Sebuah kritik tidak hanya menurut apa yang ada dalam pikiran saja, ada norma-norma untuk melakukan penilaian tersebut. ada norma untuk yang menentukan kriteria suatu seni pertunjukan. Jelas terlihat bahwa, seorang kritikus dalam mengkritik suatu pertunjukan ada kriteria-kriteria tertentu yang harus dipatuhi dan dijalani. Tidak asal-asalan saja mengkritik suatu pertunjukan. Kritik pertunjukan merupakan suatu hal membadingkan, menilai, dan mengevaluasi seni pertunjukan, tetapi ada juga yang menyatakan bahwa kritikan itu merupakan suatu tindakan memvonis atau mencela atau menjelek-jelekan suatu pertunjukan. Seorang kritikus dalam mengkritik suatu seni pertunjukan yang diwarnai oleh pola pemikiran yang kualitatif yang tujuan utamanya bukanlah untuk pembuktian suatu prediksi atau hipotesis, melainkan merusaha menemukan makna konteks.
            Suatu penciptaan karya seni pertunjukan yang memiliki begitu banyak penonton, dengan penilaian dan respon yang berbeda-beda setiap orangnya, maka seorang kritikus harusnya mampu membaca reaksi atau tanggapan penonton terhadap pertunjukan tersebut. hal yang paling penting yaitu seorang kritikus yang bertujuan sebagai jembatan antara penonton dan seniman. Guna untuk memberikan gambaran kepada pencipta seni untuk bisa menciptakan sesuatu yang lebih dari yang telah diciptakan sebelumnya.
            Sama halnya dengan sebelumnya, bahwa antara penonton, karya seni dan seniman memiliki hubungan yang sangat erat. Tidak bisa satu komponen tersebut bisa diabaikan begitu saja, jika salah satu diabaikan dalam penciptaan suatu karya seni pertunjukan maka tidak sah disebut suatu seni pertunjukan. Disebutkan sebagai suatu karya seni, jika ada unsur yang tiga itu yang saling mendukung satu sama lainnya. Salah satu unsurnya yaitu penonton yang merupakan orang yang menonton pertunjukan tersebut hanya sebagai penikmat seni. Jadi sebagai seorang seniman harus bisa membaca situasi penontonnya. Karya seni yang diciptakan tersebut apakah bisa dimengerti oleh masyarakat biasa atau hanya masyarakat kalangan atas. Disinilah peran kritikus yang berperan sebagai penjembatan suatu karya seni pertunjukan.
            Seorang kritikus harus memiliki ilmu dalam menilai sesuatu yaitu pertunjukan. Tidak hanya asal mengkritik tetapi memberikan arahan dan komentar yang membangun untuk penciptaan karya seni yang kedepannya. Kritikus akan mengkritik suatu seni pertunjukan dipandang  dari pemahamannya terhadap segi estetis dan culturalnya. Setiap kritikus tersebut memiliki pola pandang, latar budaya dan pengalaman yang berbeda.
            Menulis kritik, tidak hanya asal memakai gaya dalam menulisnya ada beberapa gaya yang digunakan dalam menulis kritik tersebut yaitu kritik jurnalistik, kritik ilmiah, kritik populer. Kritik junalistik merupakan kritik yang disampaikan secara terbuka kepada publik melalui media massa misalnya surat kabar. Sama halnya dengan kritik populer, tetapi bedanya kritik junalistik ini lebih membahasa lebih dalam terhadap suatu kaya seni. Kritik junalistik ini juga merangsang cepat mempengaruhi pembaca terhadap penilai suatu karya seni. Kritik ini juga memberikan ulasan yang bersifat deskriptif yang cepat dicerna oleh pembaca.
            Kritik ilmiah merupakan yang telah menggunakan konsep-konsep atau kaidah-kaidah tertentu dan juga sudah memiliki kejelasan. Konsep yang digunakan merupakan konsep dari disiplin ilmu pengetahuan. Penulisan kritik ilmiah ini menggunakan metode bahasa dan tata tulis yang baik dan benar, dengan menggunakan prinsip-prinsip seperti logis, lugas, jelas, empiris, sistematis, konsisten dan lainnya. Tujuan dari kritik ini yaitu memberikan suatu ketepatan lewat analisis, interpretasi, dan evaluasi.
            Kritik populer merupakan kritik yang ditujukan kepada masyarakat umum dengan menggunakan tata bahasa dan istilah-istilah yang sederhana sehingga mudah dimengerti oleh masyarakat awam. Jenis kritik ini merupakan hasil dari tulisan yang dibuat dengan sejujurnya atau secara tidak langsung merupakan hasil putusan dari banyak orang.
            Menulis suatu kritikan tentu memiliki sturktur yang mengatur dalam penulisan nantinya. Menulis kritikan yang penting pertama-tama itu adalah bagaimana kita bisa mendeskripsikan suatu pertunjukan agar bisa dimengerti dan bisa digambarkan bagaimana situasi dan kondisinya oleh pembaca. deskripsi juga bisa menghantarkan pembaca ke isi cerita yang disebutkan pada bagian interpretasi yaitu menelaah atau menafsirkan suatu karya pertunjukan. Bagaimana pemahaman seseorang kritikus bisa memahami apa yang sedang tontonnya. Hal tersebut berfungsi untuk menilai suatu karya seni, penilaian karya seni bukan berarti menilai baik-buruk karya seni tersebut, karena baik-buruknya suatu pertunjukan merupakan suatu hal yang relatif. Berarti tidak semua orang akan menafsirkan sama terhadap seni pertunjukan yang is tonton.
            Penilaian tersebut juga bergantung kepada pengalaman, pemahaman terhadap karya seni pertunjukan, dan lainnya. Penilaian ini juga berfungsi sebagai salah satu cara untuk memberikan pandangan atau evaluasi terhadap suatu karya seni pertunjukan.
            Uraian diatas telah menggambarkan apa itu seni pertunjukan, lainnya halnya dengan seni rupa yang merupakan suatu bentuk karya seni yang biasanya dilakukan melalui pameran seni rupa. Kedua seni tersebut, baik itu seni rupa maupun seni pertunjukan membutuhkan seorang kritikus untuk melengkapi karyanya. Kritikus, yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu guna untuk memberikan penilaian baik-buruk, layak-tidak layaknya suatu seni tersebut, begitupun seni rupa yang memerlukan kritikan.
            Seni pertunjukan dan seni rupa, merupakan suatu hal yang berbeda namun keduanya saling  mendukung dan saling membutuhkan. Sama halnya dengan suatu karya teater misalnya, dalam pertunjukan teater tersebut terdapat unsur seni rupa untuk menunjang karya teater tersebut. bisa juga dalam karya tari terdapat unsur-unsur cerita atau teaternya. Penggabungan hal tersebut sehinggga saling berkesinambungan sering disebut seni totalitas. Seni totalitas yang menggabungkan berbagai cabang atau unsur –unsur seni dalam satu karya.
            Pertunjukan ataupun pameran seni rupa telah sering dijumpai pada ujian-ujian semester, tugas akhir, atau pun kreatifitas. Banyaknya pertunjukan dan pameran tersebut, membuat orang-orang mengkritik suatu karya seni tersebut. masih banyaknya yang kurang berminat dalam kegitan mengkritik ini, mungkin dikarenakan faktor malas atau tidak memiliki pemahaman dalam menulis berita atau lain-lain. Banyaknya yang berkesenian dan yang telah menciptakan karya seni, namun yang berminat untuk menulis jarang ditemukan. Memang, menulis itu perlu suatu pemahaman dan tidak merupakan suatu hal yang instan, perlu pembelajan untuk itu. Banyak yang berlomba-lomba untuk menciptakan karya seni, namun yang berlomba-lomba untuk menulis hanya sedikit, yang mengakibat kritikus di indonesia sedikit.
            Langkah awal menulis bagi pemula, dengan bimbingan mengenai objek apa yang akan diteliti dan disamping pemahaman itu diperlukan juga pemahaman tekhnik atau istilah. Penggunaan istilah dalam tulisan yang berkaitan dengan objek yang akan di kritik tersebut. Disamping itu penggunaan reverensi juga sangat dibutuhkan untuk memeperkuat tulisan kita, agar dapat digambarkan bagaimana perkembangan karya seni tersebut pada zaman dahulu hingga sekarang. Menicptakan suatu tulisan yang akan dimuat di media massa tidak akan tercipta begitu saja tanpa adanya keinginan dan kemauan hal tersebut tidak akan tercipta. Oleh karena itu usaha sangat penting untuk memulai sesuatu tersebut, tanpa adanya usaha semuanya nihil tidak akan tercapai atau terwujud seperti yang dinginkan.
            Seorang yang ingin mengkritik suatu karya seni, baik itu seni pertunjukan maupun seni rupa harus memahami segala sesuatu yang ada dalam karya tersebut. Mulai dari proses latihan, bagaimana perubahannya, apakah memiliki perkembangan yang cepat atau lambat untuk tercipta suatu karya seni yang dinginkan. Seorang kritikus juga harus memiliki daya ingatnya, karena untuk mengingat suatu pertunjukan yang ditonton dalam waktu dua jam membutuhkan daya ingat yang kuat agar dapat menulis tentang pertunjukan tersebut. Seusai pertunjukan selesai, maka seorang kritikus berdiskusi kepada seniman yang mendukung karya tersebut.
            Krtikus yang menonton suatu karya seni harus memperhatikan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam sebuah karya seni. Hal yang perlu diperhatikan tersebut antara lain terdapat suatu kesatuan atau unity yang menggambarkan bagaimana suatu pertunjukan tersbeut dapat memperlihat suatu kesatu yang utuh tanpa ada sesuatu yang cacat di dalamnya. Penonjolan atau penekanan merupakan hal yang penting dalam suatu karya seni karena pada bagian ini agar dapat menarik perhatian penonton dalam menonton pertunjukan tersebut. kemudian, ada juga unsur keseimbangan, keseimbangan disini maksudnya merupakan unsur-unsur yang dihadirkan dapat dilihat dari setiap unsurnya yang sama atau simetris atau a simetris, dan elemen yang dihadirkan juga berimabang.
            Setelah menyaksikan suatu karya seni, sekarang tugas yang akan dilakukan yaitu menulis tentang karya tersebut. Pertunjukan mana yang lebih menonjol untuk ditulis dari beberapa pertunjukan yang ditonton. Sebenarnya, semua pertunjukan berhak mendapatkan kritikan, namun kadang kritikus memandang suatu karya pertunjukan bisa berbicara agak luas dan dapat dikembangkan. Menulis yang penting yaitu tidak bertele-tele membuat orang paham, singkat dan padat.
             Tulisan yang dibuat dapat berupa feature, resensi atau ulasan ringan, dan kritik. Resensi atau review atau tinjauan yang merupakan suatu pekerjaan yang berifat memaparkan ulang atau kembali. Resensi merupakan kemampuan penulis mendeskripsikan karya seni, agar bisa dipahami dan bisa tergambar oleh penonton secara tidak langsung. Menulis dengan gaya kritik merupakan suatu proses penilaian tidak hanya sekedar memaparkan atau menginformasikan, tetapi tulisan ini juga memberikan tanggapan terhadap suatu karya seni dan dapat dibaca oleh umum. Ada beberapa aspek penting yang perlu dimiliki oleh seorang penulis dalam mengkritik suatu karya pertunjukan. Aspek tersebut merupakan kepekaan atau kemampuan tekhnik, memiliki pengetahuan dan logika, dan kepekaan rasa.
            Kepekaan rasa merupakan bagian yang paling menyentuh pada bagian yang akan ditonjolkan. Memiliki pengetahuan juga merupakan hal yang penting dalam suatu tulisan, guna untuk mengetahui pengetahuan tentang suatu karya pertunjukan tersebut. pengetahuan dalam bidang sejarah kelahiran dan kelahiran karya tersebut, asal usul karya tersebut. kemampuan tekhnik merupakan sejauh mana kita memahami suatu proses pertunjukan hingga samapai terciptanya suatu pertunjukan yang dinginkan. Setelah penggabungan ketiga aspek tersebut, seorang kritikus lebih mudah untuk membuat tulisannya untuk dimuat di media masa yang akan baca oleh publik.
            Selain membahas kritik yang juga penting yaitu mediasi seni, seni pertunjukan yang pertama yaitu musik. Musik merupakan semua yang menghasilkan musik yang indah dengan tempo dan ritme yang teratur itu yang disebut dengan musik. Tidak Cuma alat musik yang biasa kita dengarkan, baik itu alat musik tradisional ataupun moderen. Penciptaan musik, tanpa menggunakan alat musikpun bisa mengahasilkan karya musik. Misalnya, dari tepukan tangan dengan menggunakan tempo yang teratur akan menciptakan bunyi yang indah.
            Banyaknya macam alat musik yang ada di minangkabau contohnya, ada alat musik tiup, pukul, gesek. Semua alat musik tersebut memiliki keunikan yang berbeda dan menghasilkan bunyi yang indah satu sama lainnya. Contoh kecilnya di ISI Padangpanjang, banyak alat musik tradisional yang dikenal dan sudah banyak pula yang mempertunjukannya, tidak hanya sekedar mengetahui, tetapi juga mempraktekkannya hingga menciptakan suatu pertunjukan yang diinginkan.
            Komposisi sirompak yang menjadi contohnya, komposisi sirompak tersebut yang berasal dari nagari Taeh baruah, Kabupaten Lima Puluh Kota yang menjadi tempat diadakan ritual magis. Basirompak merupakan suatu hal yang dilakukan untuk merebut hati seorang perempuan dengan cara paksa. Ritual ini dilakukan dengan memuja setan untuk bisa mencapai keberhasilan dari ritual ini. Hal yang dilakukan dalam bermain sirompak tersebut refleksi musikal saluang sirompak yang pilu, menyayat hati, dan kadang menyentak dengan suara yang tinggi, yang diikuti dengan suara yang sama dengan irama saluangnya.
            Dalam pertunjukan tersebut, didukung dengan pencahayaan yang remang-remang, suasana yang seram dan mencekam. Melodi sirompak kemudian digarap dengan dendang sampelong dan vokal ratok bawak. Ketiga musik ini memiliki aroma musik yang khas. Khusus dendang ratok bawak yang merupakan dendang kematian yang memilukan dari Payakumbuh. Karya ini lebih mempresentasikan melalui musik kepiluan, kesedihan hati yang wanita yang kena guna-guna sirompak pada masa silam.
            Sebenarnya dalam kegiatan ini yang bersekutu dengan setan yang menyebabkan kerugian banyak orang. Kegitan ini sangat bertolak belakang dengan agama islam. Islam sangat melarang perbuatan tersebut. hal tersebut merupakan ritual yang sangat berbahaya yang sangat merugikan bagi orang banyak, apalagi bagi yang menjadi korbannya. Banyak contoh lainnya yang pernah dilakukan, selain saluang sirompak ada juga kesenian lainnya. Misalnya, spirit lukah gilo yang masih berbau mistik non musikal hanya menggunakan lukah. Komposisi tokok balega: perselingkuhan ritme tradisi. Dan masih banyak lagi yang membahas tentang musik daerah.
            Dari musisi sekarang pindah ke koreografer, telah banyaknya ISI Padangpanjang yang menciptakan koreografer yang menciptakannya dengan berakar tradisi. Beraangkat dari tradisi disekitar dengan bersumber dari apa yang ada dilingkungan sosial dapat dijadikan pelajaran, dapat diambil hikmah dari komposisi tari yang juga berakar dari kehidupan sosial.
            Tari mengakat  suatu pertunjukan yang juga bersumber dari kehidupan sosial. Begitupun dengan teater yang juga merupakan potret kehidupan yang diangkat di atas panggung. Sudah banyak juga karya-karya yang dihasilkan oleh mahasiswa teater. pertunjukan tangga yang disutradarai oleh Yusril yang di pentaskan hingga ke belanda. Yusril mengangkat dari tradisi minangkabau yang bajanjang naiak batanggo turun.
            Disamping itu, terdapat seni perfilman, tidak hanya bersumber dari naskah, dari puisipun film bisa diangkat. Bertemakan puisi “musim kematian bunga” yang diangkat menjadi film. Dalam puisi tersebut menggambar bahwa, bunga sangat bergantung kepada ruang dan waktu yaitu pergantian musim. Puisi tersebut diinterpretasi oleh Yusril kembali yaitu konflik tidak hanya pada perbedaan keyakinan, tetapi juga pada realitas sosial. Pergaulan dalam lingkungan Minangkabau, dewasa ini disinyalirkan tidak lagi mencerminkan budaya Minangkabau.
            Tradisi perkawinan: penculikan perempuan di Kirgystan dan uang naik di makasar (resensi film dokumenter). Persyaratan perkawinan di makasar, mengaharuskan laki-laki membayar uang yang lebih tinggi kepada perempuan. Penawaran harga tersebut merupakan hal yang menarik yang menyebabkan gagalnya pernikahannya walaupun sudah lama berpacaran. Terdapat di negara kirgystan sama halnya dengan hal tersebut, tetapi disana mereka melakukan penculikan terhadap perempuan tersebut karena tingginya uang mahar.
            Memenuhi suatu ikatan yang sah dan resmi antara laki-laki dan perempuan dalam ikatan perkawinan di berbagai suku atau etnik di belahan dunia dilakukan dengan berbagai cara dan persyaratannya. Persyaratan perkawinan menjadi bagian yang menentukan bisa atau tidaknya suatu perkawinan dilaksanakan. Di bugis seorang laki-laki yang harus memenuhi persyaratan tersebut. namun ada juga yang sebaliknya, seorang perempuan yang membeli laki-laki tersebut. sebenarnya hal tersebut sudah menjadi konvensi bagi daerah tersebut yang memiliki kekuatan di dalamnya. Film ini diangkat dari kisah nyata seseorang yang tinggal di Makasar, yang merupakan privasi bagi dirinya. Walaupun demikian, perkawinannya merupakan hasil dari perculikan namun pada akhirnya mereka dapat hidup bahagia. Tingginya uang mahar di Makasar menyebabkan banyaknya tindakan kriminal yaitu penculikan terhadap perempuan, hamil diluar nikah, kawin lari, dan sebagainya.
            Untuk mewadahi karya-karya film di Sumatera Barat, diperlukan suatu lembaga perfilman yaitu semacam Komisi Film Daerah Sumatera Barat. komisi ini berperan untuk mengapresiasi karya-karya mereka untuk dapat mengikuti festifal film yang ada di dalam dan di luar negeri.
            Terdapat beberapa istilah dalam pertelevisian yaitu, dokumentasi audio visual pada dasarnya tidak memerlukan sebuah skenario sebagai panduan atau acuan untuk merekam gambar. Dalam dokumentasi yang paling penting adalah pengambilang moment yang penting dalam suatu peristiwa. Dokumenter merupakan proses perfilman yang membutuhkan skenario dalam prosesnya, agar dapat mempermudah sutradara dan tim produksi menjalankannya dengan baik.            Menciptakan film dokumenter harus diadakan survei dulu dilapangan agar kegiatannya dapat berjalan dengan lancar, misalnya acara tabuik di Pariaman. Etnofilm merupakan karya-karya film yang lebih cenderung mengangkat sisi-sisi kehidupan dari suatu suku atau etnik. Biasanya etnofilm ini tim kerja berusaha membaur dulu dengan masyarakat setempat. Antropologi visual merupakan karya film yang mengangkat sisi kehidupan masyarakat, komunitas, atau sekelompok orang dengan fokus pada aktivitas atau prilaku mereka. Film pendek merupakan film yang dari segi durasinya yang paling pendek. Memang film pendek hanya ditampilkan dalam durasi yang singkat, tetapi karya ini lebih menutut tantangan dalam menciptakannya.
            Film termasuk seni rupa, juga senimurni, kriya dan lainnya. Biasanya diadakan pameran bagi seni rupa tersebut. mempergakan seni rupa tersebut membutuhkan waktu untuk menciptakannya, bukan asal sekedar dibuat saja. Menciptakan karya seni rupa tak ubahnya dengan seni pertunjukan yang bersumber dari alam dan kehidupan sosial masyarakat. begitupun dengan seni rupa juga diangkat dari hal-hal yang ada dalam masyarakat dan kehidupan sosial ataupun juga bertemakan alam.
            Kande warisan dari budaya Aceh yang terlupakan sebagai inspirasi penciptaan karya seni. Kande merupakan warisan budaya aceh masa lalu, yang merupakan lampu minyak yang biasanya digunakan sebagai penerangan di rumah-rumah adat Aceh, meunasah, masjid, dan dirumah pengaten saat pesta perkawinannya. Namun sejak kemajuan tekhnologi, kande sudah ditinggalkan dengan masuknya listrik samapi ke perkampungan. Namun setiap budaya itu akan berubah seiring dengan perkembangan zaman.
            Lewat pertunjukan kesenian Minangkabau dan melayu(catatan pertunjukan kesenian ISI Padangpanjang di New Zealand. Pertunjukan yang dilaksanakan di New Zealand itu yang sering disebut yaitu museum Te Papa saja. Pertunjukan yang berdurasi 80 menit itu yang dihadiri oleh Duta Besar RI. Pertunjukan tersebut yang diselenggarakan di museum Te Papa itu terbilang sukses mendapatkan apresiasi yang baik dari penonton, mereka sangat terpukau sekali dengan tari, musik dan randai yang sangat jarang dilihat oleh mereka. Begitupun dengan randai intan kumal yang mampu mengajak penonton pada satu wilayah lorong apresiasi teater, tari, dan musik dalam satu kemasan yang variatif.
            Silek: Pimadona budaya Minangkabau, selain memiliki cita rasa masakan yang beraneka ragam dengan ciri khas rasanya, salah satu etnik yang memiliki tradisi beladiri silat yaitu Minangkabau. Karena dalam Minangkabau ada istilah merantau, yaitu bagi laki-laki yang ingin mencari nafkah di luar nagarinya. Untuk pergi ke nagari orang, seorang pemuda Minangkabau perlu dibekali ilmu pengetahuan, keterampilan dan yang tak kalah pentingnya yaitu dibekali ilmu beladiri yaitunya silat.
            Selain untuk keperluan individu, silat menjadi tanggung jawab pemuda dalam menjaga nagarinya masing-masing. Di Minangkanbau silat tidak bersifat tunggal dan berlaku tunggal dan berlaku secara general dimanapun tempatnya. Silat di Minangkabau memiliki beragam aliran, yang juga setiapnya memiliki kekhasan masing-masing. Aliran yang berkembang antara lain: silek sunua, silek balam, silek mangguang, silek tuo, silek sungai pantai, silek kumango, silek gunuang, dan masih banyak lagi bentuk dan jenis-jenis silek tersebut.
            Salah satu aliran silek yang masih berada di antara pencak dan silek, yaitu ulu ambek. Ulu ambek yang terletak di daerah Pariaman yang merupakan permainan silat jarak jauh. Serangan yang dilancarkan oleh pihak lawan akan ditangkis dari jarak jauh pula. Secara visual memang yang tampak hanya gerak menyerang dan mengkis dari jarak jauh, akan tetapi sebenarnya setiap serangan itu telah dimuati unsur kebatinan (magic). Banyak yang mengategorikan ke dalam tarian atau mancak. Berbeda dengan aliran-aliran silat, di atas semuamelakukan kontak langsung.
            Silat dan menjadi pendekar bukanlah permasalahan keterampilan fisik semata. Secara lahiriah memang akan tampak bahwa silat permainan beladiri dengan gerakan-gerakan yang kontak langsung dengan fisik. Namun yang tidak kalah pentingnya yaitu kebatinan (magic), karena serangan yang datang dari pihak lawan bukan tidak mungkin juga dibarengi dengan muatan magis yang bisa mematikan. Untuk menjadi pendekar silat minang, ada banyak hal yang dilakukan dalam menguji keahliannya. Pengujian itu dilakukan secara alamiah, misalnya mempertemukan langsung dengan harimau. Hal tersebut memang sangat menguji keberanian seseorang,jadi tidak mudah untuk menjadi pendekar minang.
            Penjelasan mengenai mediasi seni, pada dasarnya mediasi seni merupakan media apa yang yang digunakan untuk memaikan suatu kesenian. media suatu kesenian yang merupakan suatu hal yang sangat penting dalam mempertunjukannya. Dapat disimpulkan dari contoh-contoh seni yang dijabarkan dalam buku Kritik dan mediasi seni, bahwa seni tari yang menjadi medianya adalah tubuh itu sendiri, karawitan dan musik yang menjadi medianya adalah alat musik tradisi dan moderen, sedangkan teater yang menjadi medianya tubuh dan dialog para aktornya. Dalam buku kritik dan mediasi seni, yang hanya memberikan contoh-contoh saja, tanpa menjabarkan apa yang menjadi media dari suatu seni tersebut. namun secara tidak langsung bisa dimengerti maksud dari pemberian contoh-contoh tersebut .
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    
           
           
           

            

DRAMATURGI SANDIWARA


            Sandiwara yang biasanya disebut dengan sandiwara kampung, yang merupakan nama sebuah seni teater dalam masyarakat luas di Minangkabau era tahun 60-an samapi 90-an. Perkembangan tersebut, ditandai dengan adanya pergelaran karya-karya seni di tempat. Perayaan biasanya dilakukan dalam rangka penyambutan hari raya idul fitri, idul adha, hari-hari besar. Penonton dapat berpindah-pindah menontonnya dari suatu nagari ke nagari lainnya, karena banyaknya pergelarannya di suatu tempat tertentu.
            Masa itu sandiwara memperoleh posisi yang penting dalam masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. sandiwara bukan hanya sekedar menjadi bahan tontonan, tetapi juga  mengambil bagian yang penting dalam aktifitas masyarakat di lingkungan nagari. Posisi penting tersebut ditandai dengan ikut keterlibatannya masyarakat tersebut dalam menyelenggarakannya dan saling mendukung kegiatan tersebut.
            Namun, seiring dengan perkembangan waktu masuknya budaya moderen menyebabkan lunturnya budaya tersebut. sudah banyak kita jumpai bahwa, banyaknya kesenian yang hanya tinggal nama saja sekarang. Hal tersebut, karena tidak ada masyarakat setempat yang peduli dengan kesenian daerahnya. tidak adanya generasi penerus yang mampu membawakannya. Banyak alasan yang menyebabkan suatu kesenian itu mati atau punah. Perlu diketahui, bahwa suatu kesenian nagari merupakan ciri khas dari nagari tersebut, jadi memiliki peran yang sangat penting dalam melestarikan kesenian tersebut.
            Perlu dilakukannya revitalisasi untuk dapat menghidupkan kembali kesenian–kesenian yang menjadi penyemarak nagari tersebut.  penamaan sandiwara tersebut mengingatkan kita kepada sejarah seni dramatik indonesia. Sebenarnya, sandiwara merupakan istilah dalam bahasa Jawa yang digunakan untuk pengganti kata toneel yang berarti “ drama”. Semulanya sandiwara adalah seni dramatik yang dikembangkan oleh masyarakat indonesia dalam melawan hegemoni budaya kolonial. Fakta sejarah yang membuka kemungkinan terjadinya reaktualisasi semangat pengajaran yang terselubung dalam sandiwara, atau bahkanreaktualisasi semangat atas seni pementasan dramatik.
            Kehadiran sandiwara di tengah masyarakat Minangkabau dengan masuknya budaya modern yang menyebabkan mempengaruhi kesenian tersebut. pada mula orang-orang yang bergiat untuk menciptakan yang baru misalnya randai, mereka dahulunya tergolong ke dalam kelompok sandiwara. Dari sandiwara berkembang menjadi bentuk-bentuk lain dari kesenian yang banyak kita jumpai sekarang yang sudah dikemas dalam bentuk moderen.
            Sandiwara tumbuh dan berkembang dari suatu masyarakat, yang menjadi ciri khas dari masyarakat tersebut, dan kemudian mundur dalam masyarakat Minangkabau. Untuk itu perlunya perhatian yang lebih khusus dalam hal ini. Untuk dapat memahami tentang sandiwara, maka ada ilmu yang memperlajarinya yaitu dengan adanya istilah dramaturgi. Dramaturgi merupakan salah satu disiplin ilmu yang mempelajari hukum dan konvensi drama.
            Berbicara tentang dramaturgi sandiwara, adanya konvensi-konvensi tertentu mengenai sebuah sandiwara. Untuk itu ada beberapa pendekatan yaitu sosiologi teater, dramaturgi sandiwara dapat dipahami dengan memperhatikan konteks dimana diproduksi, distribusikan, dan tujuan akhirnya bagi konsumen. Hal tersebut dalam sosilogi teater tentang penonton teater sebagai kelompok sosial, pementasan teater sebagai produk kerangka sosial, pekerja teater sebagai kelompok sosial, fungsi sosial teater.
            Dikatakan seni pertunjukan merupakan sesuatu yang diprodusi dan kemudian diperagakan kepada penonton. dalam menciptakan suatu karya pertunjukan yang menjadi penentu yaitu penonton, tanpa penonton tidak lengkap suatu karya dikatan seni pertunjukan. untuk itu dalam menciptakan pergelaran teater tersebut harus mengobservasi tipe-tipe penontonnya. Penonton yang merupakan masyarakat umum, yang sudah ada mengenal teater dan ada juga yang belum. Untuk itu perlu ditinjau untuk mementaskan suatu karya seperti ini atau bagaimana, sesuai dengan tingkat pendidikan dan pemahaman penontonnya.
            Disamping mengakaji bagaimana penonton, juga dikaji tentang penafsiran teks lakon oleh sutradara yaitu pembacaan dan menyikapi teks lakon untuk menuju ke pementasan multidimensional yang merupakan interpretatif dalam penciptaan pementasan drama hingga pada akhirnya. Dramaturgi tidak hanya mempelajari tentang teks lakon yang telah dipahami, melainkan juga berkaitan dengan penciptaan teater yaitu pembangunan aktual dari teks lakon hingga terciptanya suatu pertunjukan teater.
            Pendekatan drama poskolonial, perkembangan dramaturgi terkait erat dengan sejarah dan merupakan bentuk respons terhadap kondisi sezaman. Sandiwara harus ditinjau pula dalam perspektif kesejarahan untuk melihat anasir-anasir yang telah mengontruksi dramaturginya serta disposisi estetika penotonnya. Istilah sandiwara merupakan asal dari kata toneel yang merupakan usaha masyarakat pribumi untuk melakukan perlawanan kepada masyarakat asing. Dengan memperhatikan istilah sandiwara menjelaskan bahwa, adanya pengaruh kolonialisme belanda terhadap perkembangan drama dan teater di indonesia serta adanya respon atas pengaruh kolonialisme terhadapat masyarakat bekas penjajah.
            Pendekatan drama poskolonial dapat digunakan untuk membongkar fakta poskolonial. Akibat dari hegemoni budaya yang dipraktekkan oleh poskolonial beserta warisan-warisannya dalam hal poskolonial dalam teater, atau lebih khusus poskolonial dalam sandiwara. Namun cara menyikapai masyarakat kolonial terhadap poskolonial ataupun kolonialisme melalui seni dramatik atau teater.
            Riwayat sandiwara, masa opera melayu dan tonil; gambaran tentang perkembangan seni dramatik di Sumatera Barat yang dicatat pertama kali oleh Van Kerckoff dalam sebuah risalah yang ditulisnya di Payakumbuh. Lakon tonil melayu digemari oleh penonton Padang karena salah satu faktornya yaitu dari segi bahasa yang sangat dekat dengan bahasa Minangkabau yang mudah dimengerti. Dimulai dari perkembangan tonil melayu di Padang, kemudian mulai menyebar di semua kota-kota di Padang.
              Peralihan dari tonil ke sandiwara, strategi kebudayaan kolonial jepang yang berusaha melenyapkan berbagai anasir kebudayaan Eropa dari Nusantara dapat dilihat salah satu faktor yang penting dengan meluasnya istilah sandiwara dikemudian hari. Perkembangan seni dramatik pada masa pendudukan Jepang ditandai dengan adanya suatu kelompok komunitas Sandiwara Ratoe Asia yang didirikan pada tahun 1943. Munculnya grup-grup sandiwara di zaman pendudukan Jepang dikaitakan dengan kelesuan dunia hiburan. Sebelum pendudukan Jepang orang-orang tonil atau sandiwara telah ikut meramaikan dunia film yang secara tidak langsung menjadi salah satu faktor lesunya dunia tonil dan sandiwara itu sendiri.
            Kehadiran Sandiwara Ratoe Asia di Padangpanjang pada tahun 1943 ini dapat dijelaskan karena kedudukan di Padangpanjang sebagai pusat pendidikan dan sebagai pusat intelektual. Alasan yang kedua yaitu posisi Padangpanjang yang jauh dari dua pusat pemerintahan dan pada saat yang sama pusat kontrol kebudayaan oleh jepang yaitu Bukittinggi dan Padang. Setelah proklamasi, kelompok Sandiwara Ratoe Asia berkembang menjadi sandiwara keliling yang membantu perjuangan rakyat menghadapi Agresi Militer Belanda.
            Sandiwara keliling semacam Sandiwara Ratoe Asia inilah yang menginspirasi beberapa rombongan sandiwara lain di Sumatera Barat setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, salah satunya, ditunjukkan oleh gejala “sandiwara laskar” yaitu para pejuang republik yang menginisiasi pementasan-pementasan sandiwara. Tahun 1950-an di Sumatera Barat berkembang dua tipe sandiwara yaitu sandiwara keliling yang dilaksanakan dari pasar malam ke pasar malam dan sandiwara pelajar yang digelar oleh sekolah-sekolah.
            Sandiwara keliling adalah kelanjutan dari gejala rombongan pementasan opera melayu, sedangkan sandiwara pelajar digerakkan oleh para guru-guru yang mendapatkan pendidikan sekolah guru. Lakon-lakon yang dimainkan oleh sandiwara pelajar lebih banyak ditujukan untuk kepentingan pendidikan, terutama sejarah perjuangan bangsa dan nilai-nilai nasionalisme. Berdasarkan tema-tema lakonnya, muncul sandiwara pelajar di Sumatera Barat pada tahun awal-awal kemerdekaan dapat dilihat sebagai kelanjutan dari apa yang dinamakan oleh A Teeuw sebagai “ drama sejarah”yang berkembang pada masa pergerakan kebangsaan.
            Contoh dari drama sejarah di Lubuak Batingkok Limapuluh Kota, ada lakon Katotuo Lautan Api yang menceritakan kejadian yang dialami oleh masyarakat setempat dalam masa Agresi Militer Belanda. Selain dari drama sejarah pada era yang sama berkembang pula drama pendidikan, yang keduanya berlangsung dalam dunia pendidikan dengan guru-guru sebagai motornya, dan para pelajar sebagai pemainnya. Menjelang pemilu pertama RI tahun 1955, di Sumatera Barat berkembang pula” sandiwara partai” itu sesuai dengan partai politiknya masing-masing.  
            Era sandiwara masuk kampung, peritiwa yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai zaman peri-peri merupakan salah satu momentum dalam perjalanan sejarah masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. para perantau Minangkabau ini, terutama yang berada di jakarta. Selain mengembangkan organisasi-organisasi persatuan berdasarkan daerah asal, juga mendirikan organisasi kesenian. salah satu kesenian yang didirikan para perantau Minangkabau adalah BKAM ( Badan Kesenian Alam Minangkabau) di Jakarta yang gencar mempromosikan kesenian Minangkabau. Salah satu kegiatan mereka adalah pementasan sandiwara dengan lakon cinduo mato-kaba yang paling populer dalam masyarakat Minangkabau.
            Selain itu juga mendirikan sanggar-sanggar seniyang mementaskan karya di TVRI Jakarta. Gejala-gejala yang disebut terakhir ini dapat dilihat sebagai bagian dari “involusi kebudayaan” Minangkabau yang berkembang terutama pada akhir 1960-an. Di Sumbar, involusi kebudayaan ditandai dengan berdirinya kokar (konservatori karawitan) pada 1968, kemudian dikenal dengan ASKI Padangpanjang. Pada akhir dekade 1960-an, berkembang rombongan-rombongan sandiwara profesional di Sumatera Barat yang datang dari berbagai daerah dan melaksanakan pertunjukannya dipasar-pasar malam. Grup-grup sandiwara profesional ini mengaktualkan kembali gaya-gaya pementasan bangsawan, yaitu gabungan antara seni peran, nyanyian, dan tarian.
            Sandiwara di balai salasa, yang dibuktikan dengan dokumentasi yang menandai tentang kegiatan sandiwara didapatkan dari balai salasa (palangai). Nagari ini adalah salah satu dari dua nagari yang termasuk ke dalam wilayah kecamatan ranah Pesisir, Kabupaten Pesisir Selatan. Dari balai salasa, pertunjukan  yang digelar beberapa hari setelah Idul Fitri tahun 1975 membawa cerita Talipuak Layua Nan Dandam, sebuah cerita yang bertemakan tentang cinta tak sampai.  Talipuak Layua merupakan kaba yang cukup populer dalam masyarakat Minangkabau pada umumnya.
            Penonton dalam sandiwara balai salasa ini yang terdiri atas berbagai usia, dengan posisi penonton yang tidak tertata rapi, mereka dapat memilih tempat yang dianggap mereka adalah tempat yang paling nyaman, artinya tidak ada perbedaan tempat bagi penontonnya. Suasana yang terdapat di balai salasa tersebut, pentasnya dari los pasar balai salasa tersebut, bangunan tersebut ditutup dengan atap rumbio yaitu sejenis atap rumah tradisional yang terbuat dari daun. Penggerak sandiwara di balai salasa ini merupakan seorang guru SD bernama Sahar yang juga merupakan ketua pemuda setempat. Ia dibantu oleh seorang guru perempuan yang biasanya mengajar tari-tarian.
            Sebagian besar seni pertunjukan merupakan bentuk komunikasi budaya, baik sebagai bentuk internalisasi dan enkulturasi ke dalam masyarakat pendukunya sendiri maupun sebagai bentuk ekspresi dan sosialisasi identitas dari masyarakat pendukung kesenian itu. Paradigma utama yang digunakan dalam proses identitas diri dan dunia itu adalah adaik (adat) yang dibayangkannya tetap bertahan, melintasi generasi ke generasi. Adat Minangkabau dimaknai sebagai hasil sintesis dengan agama dan dipahami sebagai hal yang tidak terpisahkan lagi satu sama lainnya. Terlihat yaitu “ Adaiak Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.
            Masyarakat Minangkabau membagi wilayahnya menjadi dua bagian yaitu luhak dan rantau juga digambarkan sebagai darek dan pesisia. Bukti hubungan adaiak dengan agama yaitu meski secara umum kesenian Minangkabau memiliki keterikatan dengan bentuk-bentuk sastra lisan, dapat dilihat adanya perbedaan. Sebagian kesenian menunjukkan adanya ucapan dzikir dan shalawat, dan yang lainnya dengan adanya petatah-petitih adaiak, bisa dilihat pada indang dan randai.
            Kembali lagi pada pembahasan sandiwara, yang merupakan sebuah bentuk atau jenis seni pertunjukan yang dikategorikan ke dalam drama yaitu mempertontonkan lakuan manusia. Teater itu sendiri memiliki pengertian yaitu seni pertunjukan drama atau seni pertunjukan lakon. Antara randai dan sandiwara memiliki perbedaan dalam bahasa, dalam randai lebih cenderung menggunakan gaya bahasa (majas), sedangkan sandiwara hanya seperti percakapan sehari-hari saja.  
            Unsur yang paling substansial dalam sandiwara adalah drama. Para pemain sandiwara mengenal dua istilah yang mengidentifikasi seni peran sebagai substansi sandiwara secara lebih eksplisit. Dua iastilah lain yang disamakan dengan sandiwara oleh para pendukung sandiwara adalah komedi dan tonil. Terdapat pula istilah yang digunakan untuk kesatuan tontonan dramatik bukan randai dalam masyakarat Minangkabau dimasa sekarang yaitu tonil klasik Minang, drama Minang, sandiwara Minang.
            Tidak kurang dari randai dan tupai janjang, di tengah-tengah masyarakat Minangkabau  sandiwara tumbuh dan berkembang menjadi tontonan yang digemari. Pementasan sandiwara ini berlangsung selama tiga hingga tujuh hari, tidak pernah kekurangan penonton, bahkan tidak hanya penonton dari daerah tersebut, bahkan dari daerah lain. Posisi sandiwara yang periferal dengan hadirnya tiga pentas yaitu Gedung Nasional, Gedung Pemuda, Gedung Serbaguna.
            Dramaturgi khas sandiwara, tidak hanya diartikan sebagai perkembangan unsur-unsur dalam sebuah cerita yang dipentaskan, namun juga sebagai totalitas kegiatan yang dilalui dalam penciptaan suatu karya seni dramatik. Pementasan sandiwara pada dasarnya ditempatkan ke dalam dua bagian utama yaitu, babak dan selingan. Penempatan ini memberikan artikulasi tentang unsur utama dan unsur penunjang dalam kesatuantontonan. Babak merupakan unsur penampilan drama yang dapat diinterupsi oleh lawak dan pantomim, selingan terdiri dari musik, tari dan lelang.
            Pementasan sandiwara dibuka oleh bagian yang dinamakan drama yang merupakan bagian yang pertama dan utama dari keseluruhan tontonan ini. Partisipan sandiwara mengidentifikasi drama sebagai bagian yang bercerita dan diperagakan oleh pemeran. Keutamaan drama dalam sandiwara yaitu drama adalah komponen penampilan yang dipikirkan dan dilatihkan pertama kali dalam rentang pra penampilan sandiwara. Dari penampilan drama para penonton mendapatkan kesan-kesan khusus dan mengingat penampilan sandiwara dari tahun-tahun tertentu.
            Baranjak dari drama, ada juga penampilan tari dalam sandiwara yang berfungsi sebagai selingan. Tarian yang ditampilkan dalam sandiwara tergolong beberapa bagian yaitu tari tradisional merupakan tari yang diperoleh secara turun temurun, tari postradisional yaitu tari-tarian baru yang dikembangkan dari tari tradisional, tari nontradisional yaitu tari-tarian baru yang diciptakan tidak dalam kaitan dengan tari tradisional.
            Musik dalam sandiwara merupakan salah satu selingan dalam permainan sandiwara, dengan istilah yaitu lagu dan nyanyi. Kehadiran musik dalam sandiwara, harus sesuai dengan kondisi yang sedang diangkat dalam cerita sandiwara tersebut. kategori musik dalam sandiwara ini tidak bersal dari musik-musik tradisional, melainkan musik-musik modern pada zaman tersebut, misalnya saja musik pop, lagu-lagu band dan lain-lain.
            Unsur yang paling ditunggu-tunggu yaitu lawak yang kehadirannya menunjukkan bahwa para partisipan sandiwara mengharapkan pula pementasan menjadi pelipur lara sekagus ruang berekreasi layaknya sebuah hiburan. Lawak juga merupakan bagian dari unsur drama, ketika salah seorang tokoh dengan tingkah lakunya atau kharaternya yang komikal, dengan ekspresi tubuhnya sudah memancing rasa geli penonton. lawak dalam sandiwara ditampilkan secara mandiri sebagai bagian dari selingan. Penampilan lawak sebagai sesi tersendiri dapat dianggap lakon tersendiri yang biasanya tidak tertulis dan tanpa proses latihan.
            Unsur yang terakhir dalam sandiwara yaitu lelang, yang merupakan salah satu acara yang diletakan pada bagian selingan yang terkadang dinamakan dengan lelang kue atau lelang singgang. Lelang merupakan acara yang aktifitas utamanya adalah penjualan terbuka di mana semua orang dapat berkompetisi untuk membeli dengan cara menawarkan harga tertinggi. Lelang dalam sandiwara berkembang sedemikian rupa sehingga kuat indikasi yang menunjukkan bahwa tanpa acara lelang, sebuah kesatuan tontonan tidak diindentifikasi sebagai sandiwara.
             Sandiwara sebagai teater postkolonial, yang merupakan sandiwara yang berkembang setelah berakhirnya kolonialisme. Kajian postkolonial dapat dilihat sebagai diskursus kritis yang tidak saja merupakan efek tekstual yang ditinggalkan kolonialisme. Hadirnya sandiwara di tengah-tengah masyarakat Minangkabau dapat dipandang sebagai kehadiran sebuah strategi artistik baru yang menantang keberadaan strategi-strategi artistik yang telah ada dan mapan sebelumnya, misalnya randai.
            Sekitar akhir tahun 1960-an hingga awal 1970-an sandiwara mulai mendapat tempat yang luas dalam masyarakat Minangkabau. Sandiwara tumbuh dalam interaksi antara berbagai anasir seni dramatik dengan tujuan, pola, dan gaya yang dipengaruhi oleh semangat pada zaman masing-masing. Sandiwara merupakan bagian dari proses hibridasi yaitu pembauran beberapa tradisi pementasan seni dramatik. Jika dibandingkan dengan randai, randai dikembangkan dan tumbuh dalam lingkungan tradisional, sementara sandiwara tumbuh dalam dua ruang lingkup yaitu sekolah-sekolah atau kaum terpelajar dan rombongan profesinal dalam bentuk sandiwara keliling.
            Proses hibrida yang kompleks memberikan petunjuk tentang anasir kesenian prakolonial dalam tradisi dramatik di Sumatera Barat. tradisi randai yang berbetuk tarian naratif sebagaimana dikemukakan oleh Ediwar. Randai naratif ini semula mendapatkan pengaruh dari opera melayu dan tonil lalu berkembang menjadi sandiwara dan randai, akhirnya melahirkan sandiwara. Kelahiran sandiwara sebagai strategi artisti yang diperbaharui dalam masyarakat Minangkabau menunjukkan beberapa hal sebagai latar belakangnya, sebagai respons atas kondisi sezaman, sandiwara adalah pantulan dari kesadaran akan adanya realitas kehidupan baru, yakni kehidupan moderen.
            Kelahiran sandiwara memeperlihatkan bahwa, teater ini hidup dalam suatu masyarakat ketia beberapa kebudayaan yang berbeda bertemu dalam suatu ruang sosial yang sama. Sandiwara dapat dikatakan sebagai teater yang menyerap berbagai elemen teaterikal yang dibawa oleh berbagai komunitas yang multikultur dari budaya asal masing-masing. Akibatnya, sandiwara dapat dipahami sebagai bentuk akumulatif dari berbagai pengaruh seni dramatik, baik yang datang dari tonil, opera melayu, sandiwara, maupun randai.
            Dramaturgi sandiwara memiliki dua pola kreativitas, yaitu mimikri dan transkulturasi. Mimikri secara sederhana dapat diartikan sebagai proses meniru oleh masyarakat terkoloni terhadap pengkoloninya untuk tunduk meniru penjajah dengan mengadopsi kebiasaan, budaya, asumsi-asumsi, lembaga, serta nilai-nilai yang dianut sang penjajah. Transkulturasi dapat diartikan sebagai proses menyerap dan mengambil aspek-aspek dari budaya lain untuk menciptakan genre-genre, gagasan-gagasan, dan identitas-identitas-identitas baru.
            Tercermin bahwa, sandiwara merupakan kesenian yang moderen dibandingkan dengan randai. Terlihat dari segi artistik yang dipakainya, kalau randai tidak menggunakan pentas, hanya dilapangan terbuka saja. Sandiwara juga menggunakan bahasa nasional yaitu bahasa indonesia  dan melayu dalam beberapa carito. Sedangkan randai menggunakan bahasa daerah, karena randai merupakan kesenian yang tradisional sesuai dengan bahasa daerah tersebut.
            Lakon dalam sandiwara sebagian besar bersumber dari tradisi lisan bakaba sehingga lebih terlihat sebagai sebuah keberkelanjutan dari tradisi masyarakat Minangkabau. Kaba tersebut yang disampaikan secara lisan menjadi sebuah cerita dalam sandiwara terlihat sebagai pengaruh yang ditinggalkan oleh opera melayu maupun tonil. Cerita yang dibuat para tukang karang dalam sandiwara berpotensi untuk menjadi perwujudan dari konsep-konsep satir dan parodi.
            Tujuan menulis sejarah lokal melalui cerita, tampak melalui bagaimana cerita dalam sandiwara secara tidak langsung merefleksikan dan merefraksikan perjalanan sosio-kultural orang Minangkabau, yaitu dari masyarakat feodal ke masyarakat modal dan akhirnya masyarakat industri. Kesan tentang penulisan sejarah lokal semakin kuat dirasakan dengan memperhatikan logika-logika cerita.
            Tema-tema yang dihadirkan dalam cerita sandiwara berupa persoalan-persoalan klasik tentang harga diri, balas dendam, dan percitaan pribadi bergerak menjadi perjuangan, harga diri dan balas dendam yang lebih umum atau lebih menunjukkan gambaran kekinian. Begitu banyaknya yang akan bisa diangkat menjadi tema suatu pementasan sandiwara, tetapi tidak sembarangan untuk memilih tema tersebut, tema harus sesuai dengan keadaan atau kondisi masyarakat masing-masing pada zamannya.
            Tumbuhnya sandiwara sebagai teater rakyat didorong oleh kerangka sosial tempat masyarakat Minangkabau tengah beralih dari kondisi-kondisi tradisionalnya untuk memasuki kerangka sosial baru, yakni kerangka modernitas. Perkembangan sandiwara sebagai teater rakyat dalam masyarakat Minangkabau mengungkapkan adanya kesadaran baru terhadap seni dramatik dalam masyarakat Minangkabau. Sandiwara memperlihatkan adanya gejala inkonsistensi dari partisipasinya sendiri.
            Sandiwara merupakan potret poskolonial, yaitu seni dramatik yang menunjukkan kemampuan masyarakat likao untuk memperkuat idiom seni pertunjukan tradisi mereka dengan mengambil bentuk-bentuk drama barat maupun timur secara kolektif. Sandiwara merupakan teater rakyat dalam masyarakat Minangkabau, yakni seni dramatik yang diterima secara luas oleh berbagai kalangan dalam masyarakat yang sekaligus merefleksikan kesadaran politik rakyat  sebuah negara atau semangat kerakyatan.