Pages

Minggu, 25 Mei 2014

DRAMATURGI SANDIWARA


            Sandiwara yang biasanya disebut dengan sandiwara kampung, yang merupakan nama sebuah seni teater dalam masyarakat luas di Minangkabau era tahun 60-an samapi 90-an. Perkembangan tersebut, ditandai dengan adanya pergelaran karya-karya seni di tempat. Perayaan biasanya dilakukan dalam rangka penyambutan hari raya idul fitri, idul adha, hari-hari besar. Penonton dapat berpindah-pindah menontonnya dari suatu nagari ke nagari lainnya, karena banyaknya pergelarannya di suatu tempat tertentu.
            Masa itu sandiwara memperoleh posisi yang penting dalam masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. sandiwara bukan hanya sekedar menjadi bahan tontonan, tetapi juga  mengambil bagian yang penting dalam aktifitas masyarakat di lingkungan nagari. Posisi penting tersebut ditandai dengan ikut keterlibatannya masyarakat tersebut dalam menyelenggarakannya dan saling mendukung kegiatan tersebut.
            Namun, seiring dengan perkembangan waktu masuknya budaya moderen menyebabkan lunturnya budaya tersebut. sudah banyak kita jumpai bahwa, banyaknya kesenian yang hanya tinggal nama saja sekarang. Hal tersebut, karena tidak ada masyarakat setempat yang peduli dengan kesenian daerahnya. tidak adanya generasi penerus yang mampu membawakannya. Banyak alasan yang menyebabkan suatu kesenian itu mati atau punah. Perlu diketahui, bahwa suatu kesenian nagari merupakan ciri khas dari nagari tersebut, jadi memiliki peran yang sangat penting dalam melestarikan kesenian tersebut.
            Perlu dilakukannya revitalisasi untuk dapat menghidupkan kembali kesenian–kesenian yang menjadi penyemarak nagari tersebut.  penamaan sandiwara tersebut mengingatkan kita kepada sejarah seni dramatik indonesia. Sebenarnya, sandiwara merupakan istilah dalam bahasa Jawa yang digunakan untuk pengganti kata toneel yang berarti “ drama”. Semulanya sandiwara adalah seni dramatik yang dikembangkan oleh masyarakat indonesia dalam melawan hegemoni budaya kolonial. Fakta sejarah yang membuka kemungkinan terjadinya reaktualisasi semangat pengajaran yang terselubung dalam sandiwara, atau bahkanreaktualisasi semangat atas seni pementasan dramatik.
            Kehadiran sandiwara di tengah masyarakat Minangkabau dengan masuknya budaya modern yang menyebabkan mempengaruhi kesenian tersebut. pada mula orang-orang yang bergiat untuk menciptakan yang baru misalnya randai, mereka dahulunya tergolong ke dalam kelompok sandiwara. Dari sandiwara berkembang menjadi bentuk-bentuk lain dari kesenian yang banyak kita jumpai sekarang yang sudah dikemas dalam bentuk moderen.
            Sandiwara tumbuh dan berkembang dari suatu masyarakat, yang menjadi ciri khas dari masyarakat tersebut, dan kemudian mundur dalam masyarakat Minangkabau. Untuk itu perlunya perhatian yang lebih khusus dalam hal ini. Untuk dapat memahami tentang sandiwara, maka ada ilmu yang memperlajarinya yaitu dengan adanya istilah dramaturgi. Dramaturgi merupakan salah satu disiplin ilmu yang mempelajari hukum dan konvensi drama.
            Berbicara tentang dramaturgi sandiwara, adanya konvensi-konvensi tertentu mengenai sebuah sandiwara. Untuk itu ada beberapa pendekatan yaitu sosiologi teater, dramaturgi sandiwara dapat dipahami dengan memperhatikan konteks dimana diproduksi, distribusikan, dan tujuan akhirnya bagi konsumen. Hal tersebut dalam sosilogi teater tentang penonton teater sebagai kelompok sosial, pementasan teater sebagai produk kerangka sosial, pekerja teater sebagai kelompok sosial, fungsi sosial teater.
            Dikatakan seni pertunjukan merupakan sesuatu yang diprodusi dan kemudian diperagakan kepada penonton. dalam menciptakan suatu karya pertunjukan yang menjadi penentu yaitu penonton, tanpa penonton tidak lengkap suatu karya dikatan seni pertunjukan. untuk itu dalam menciptakan pergelaran teater tersebut harus mengobservasi tipe-tipe penontonnya. Penonton yang merupakan masyarakat umum, yang sudah ada mengenal teater dan ada juga yang belum. Untuk itu perlu ditinjau untuk mementaskan suatu karya seperti ini atau bagaimana, sesuai dengan tingkat pendidikan dan pemahaman penontonnya.
            Disamping mengakaji bagaimana penonton, juga dikaji tentang penafsiran teks lakon oleh sutradara yaitu pembacaan dan menyikapi teks lakon untuk menuju ke pementasan multidimensional yang merupakan interpretatif dalam penciptaan pementasan drama hingga pada akhirnya. Dramaturgi tidak hanya mempelajari tentang teks lakon yang telah dipahami, melainkan juga berkaitan dengan penciptaan teater yaitu pembangunan aktual dari teks lakon hingga terciptanya suatu pertunjukan teater.
            Pendekatan drama poskolonial, perkembangan dramaturgi terkait erat dengan sejarah dan merupakan bentuk respons terhadap kondisi sezaman. Sandiwara harus ditinjau pula dalam perspektif kesejarahan untuk melihat anasir-anasir yang telah mengontruksi dramaturginya serta disposisi estetika penotonnya. Istilah sandiwara merupakan asal dari kata toneel yang merupakan usaha masyarakat pribumi untuk melakukan perlawanan kepada masyarakat asing. Dengan memperhatikan istilah sandiwara menjelaskan bahwa, adanya pengaruh kolonialisme belanda terhadap perkembangan drama dan teater di indonesia serta adanya respon atas pengaruh kolonialisme terhadapat masyarakat bekas penjajah.
            Pendekatan drama poskolonial dapat digunakan untuk membongkar fakta poskolonial. Akibat dari hegemoni budaya yang dipraktekkan oleh poskolonial beserta warisan-warisannya dalam hal poskolonial dalam teater, atau lebih khusus poskolonial dalam sandiwara. Namun cara menyikapai masyarakat kolonial terhadap poskolonial ataupun kolonialisme melalui seni dramatik atau teater.
            Riwayat sandiwara, masa opera melayu dan tonil; gambaran tentang perkembangan seni dramatik di Sumatera Barat yang dicatat pertama kali oleh Van Kerckoff dalam sebuah risalah yang ditulisnya di Payakumbuh. Lakon tonil melayu digemari oleh penonton Padang karena salah satu faktornya yaitu dari segi bahasa yang sangat dekat dengan bahasa Minangkabau yang mudah dimengerti. Dimulai dari perkembangan tonil melayu di Padang, kemudian mulai menyebar di semua kota-kota di Padang.
              Peralihan dari tonil ke sandiwara, strategi kebudayaan kolonial jepang yang berusaha melenyapkan berbagai anasir kebudayaan Eropa dari Nusantara dapat dilihat salah satu faktor yang penting dengan meluasnya istilah sandiwara dikemudian hari. Perkembangan seni dramatik pada masa pendudukan Jepang ditandai dengan adanya suatu kelompok komunitas Sandiwara Ratoe Asia yang didirikan pada tahun 1943. Munculnya grup-grup sandiwara di zaman pendudukan Jepang dikaitakan dengan kelesuan dunia hiburan. Sebelum pendudukan Jepang orang-orang tonil atau sandiwara telah ikut meramaikan dunia film yang secara tidak langsung menjadi salah satu faktor lesunya dunia tonil dan sandiwara itu sendiri.
            Kehadiran Sandiwara Ratoe Asia di Padangpanjang pada tahun 1943 ini dapat dijelaskan karena kedudukan di Padangpanjang sebagai pusat pendidikan dan sebagai pusat intelektual. Alasan yang kedua yaitu posisi Padangpanjang yang jauh dari dua pusat pemerintahan dan pada saat yang sama pusat kontrol kebudayaan oleh jepang yaitu Bukittinggi dan Padang. Setelah proklamasi, kelompok Sandiwara Ratoe Asia berkembang menjadi sandiwara keliling yang membantu perjuangan rakyat menghadapi Agresi Militer Belanda.
            Sandiwara keliling semacam Sandiwara Ratoe Asia inilah yang menginspirasi beberapa rombongan sandiwara lain di Sumatera Barat setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, salah satunya, ditunjukkan oleh gejala “sandiwara laskar” yaitu para pejuang republik yang menginisiasi pementasan-pementasan sandiwara. Tahun 1950-an di Sumatera Barat berkembang dua tipe sandiwara yaitu sandiwara keliling yang dilaksanakan dari pasar malam ke pasar malam dan sandiwara pelajar yang digelar oleh sekolah-sekolah.
            Sandiwara keliling adalah kelanjutan dari gejala rombongan pementasan opera melayu, sedangkan sandiwara pelajar digerakkan oleh para guru-guru yang mendapatkan pendidikan sekolah guru. Lakon-lakon yang dimainkan oleh sandiwara pelajar lebih banyak ditujukan untuk kepentingan pendidikan, terutama sejarah perjuangan bangsa dan nilai-nilai nasionalisme. Berdasarkan tema-tema lakonnya, muncul sandiwara pelajar di Sumatera Barat pada tahun awal-awal kemerdekaan dapat dilihat sebagai kelanjutan dari apa yang dinamakan oleh A Teeuw sebagai “ drama sejarah”yang berkembang pada masa pergerakan kebangsaan.
            Contoh dari drama sejarah di Lubuak Batingkok Limapuluh Kota, ada lakon Katotuo Lautan Api yang menceritakan kejadian yang dialami oleh masyarakat setempat dalam masa Agresi Militer Belanda. Selain dari drama sejarah pada era yang sama berkembang pula drama pendidikan, yang keduanya berlangsung dalam dunia pendidikan dengan guru-guru sebagai motornya, dan para pelajar sebagai pemainnya. Menjelang pemilu pertama RI tahun 1955, di Sumatera Barat berkembang pula” sandiwara partai” itu sesuai dengan partai politiknya masing-masing.  
            Era sandiwara masuk kampung, peritiwa yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai zaman peri-peri merupakan salah satu momentum dalam perjalanan sejarah masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. para perantau Minangkabau ini, terutama yang berada di jakarta. Selain mengembangkan organisasi-organisasi persatuan berdasarkan daerah asal, juga mendirikan organisasi kesenian. salah satu kesenian yang didirikan para perantau Minangkabau adalah BKAM ( Badan Kesenian Alam Minangkabau) di Jakarta yang gencar mempromosikan kesenian Minangkabau. Salah satu kegiatan mereka adalah pementasan sandiwara dengan lakon cinduo mato-kaba yang paling populer dalam masyarakat Minangkabau.
            Selain itu juga mendirikan sanggar-sanggar seniyang mementaskan karya di TVRI Jakarta. Gejala-gejala yang disebut terakhir ini dapat dilihat sebagai bagian dari “involusi kebudayaan” Minangkabau yang berkembang terutama pada akhir 1960-an. Di Sumbar, involusi kebudayaan ditandai dengan berdirinya kokar (konservatori karawitan) pada 1968, kemudian dikenal dengan ASKI Padangpanjang. Pada akhir dekade 1960-an, berkembang rombongan-rombongan sandiwara profesional di Sumatera Barat yang datang dari berbagai daerah dan melaksanakan pertunjukannya dipasar-pasar malam. Grup-grup sandiwara profesional ini mengaktualkan kembali gaya-gaya pementasan bangsawan, yaitu gabungan antara seni peran, nyanyian, dan tarian.
            Sandiwara di balai salasa, yang dibuktikan dengan dokumentasi yang menandai tentang kegiatan sandiwara didapatkan dari balai salasa (palangai). Nagari ini adalah salah satu dari dua nagari yang termasuk ke dalam wilayah kecamatan ranah Pesisir, Kabupaten Pesisir Selatan. Dari balai salasa, pertunjukan  yang digelar beberapa hari setelah Idul Fitri tahun 1975 membawa cerita Talipuak Layua Nan Dandam, sebuah cerita yang bertemakan tentang cinta tak sampai.  Talipuak Layua merupakan kaba yang cukup populer dalam masyarakat Minangkabau pada umumnya.
            Penonton dalam sandiwara balai salasa ini yang terdiri atas berbagai usia, dengan posisi penonton yang tidak tertata rapi, mereka dapat memilih tempat yang dianggap mereka adalah tempat yang paling nyaman, artinya tidak ada perbedaan tempat bagi penontonnya. Suasana yang terdapat di balai salasa tersebut, pentasnya dari los pasar balai salasa tersebut, bangunan tersebut ditutup dengan atap rumbio yaitu sejenis atap rumah tradisional yang terbuat dari daun. Penggerak sandiwara di balai salasa ini merupakan seorang guru SD bernama Sahar yang juga merupakan ketua pemuda setempat. Ia dibantu oleh seorang guru perempuan yang biasanya mengajar tari-tarian.
            Sebagian besar seni pertunjukan merupakan bentuk komunikasi budaya, baik sebagai bentuk internalisasi dan enkulturasi ke dalam masyarakat pendukunya sendiri maupun sebagai bentuk ekspresi dan sosialisasi identitas dari masyarakat pendukung kesenian itu. Paradigma utama yang digunakan dalam proses identitas diri dan dunia itu adalah adaik (adat) yang dibayangkannya tetap bertahan, melintasi generasi ke generasi. Adat Minangkabau dimaknai sebagai hasil sintesis dengan agama dan dipahami sebagai hal yang tidak terpisahkan lagi satu sama lainnya. Terlihat yaitu “ Adaiak Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.
            Masyarakat Minangkabau membagi wilayahnya menjadi dua bagian yaitu luhak dan rantau juga digambarkan sebagai darek dan pesisia. Bukti hubungan adaiak dengan agama yaitu meski secara umum kesenian Minangkabau memiliki keterikatan dengan bentuk-bentuk sastra lisan, dapat dilihat adanya perbedaan. Sebagian kesenian menunjukkan adanya ucapan dzikir dan shalawat, dan yang lainnya dengan adanya petatah-petitih adaiak, bisa dilihat pada indang dan randai.
            Kembali lagi pada pembahasan sandiwara, yang merupakan sebuah bentuk atau jenis seni pertunjukan yang dikategorikan ke dalam drama yaitu mempertontonkan lakuan manusia. Teater itu sendiri memiliki pengertian yaitu seni pertunjukan drama atau seni pertunjukan lakon. Antara randai dan sandiwara memiliki perbedaan dalam bahasa, dalam randai lebih cenderung menggunakan gaya bahasa (majas), sedangkan sandiwara hanya seperti percakapan sehari-hari saja.  
            Unsur yang paling substansial dalam sandiwara adalah drama. Para pemain sandiwara mengenal dua istilah yang mengidentifikasi seni peran sebagai substansi sandiwara secara lebih eksplisit. Dua iastilah lain yang disamakan dengan sandiwara oleh para pendukung sandiwara adalah komedi dan tonil. Terdapat pula istilah yang digunakan untuk kesatuan tontonan dramatik bukan randai dalam masyakarat Minangkabau dimasa sekarang yaitu tonil klasik Minang, drama Minang, sandiwara Minang.
            Tidak kurang dari randai dan tupai janjang, di tengah-tengah masyarakat Minangkabau  sandiwara tumbuh dan berkembang menjadi tontonan yang digemari. Pementasan sandiwara ini berlangsung selama tiga hingga tujuh hari, tidak pernah kekurangan penonton, bahkan tidak hanya penonton dari daerah tersebut, bahkan dari daerah lain. Posisi sandiwara yang periferal dengan hadirnya tiga pentas yaitu Gedung Nasional, Gedung Pemuda, Gedung Serbaguna.
            Dramaturgi khas sandiwara, tidak hanya diartikan sebagai perkembangan unsur-unsur dalam sebuah cerita yang dipentaskan, namun juga sebagai totalitas kegiatan yang dilalui dalam penciptaan suatu karya seni dramatik. Pementasan sandiwara pada dasarnya ditempatkan ke dalam dua bagian utama yaitu, babak dan selingan. Penempatan ini memberikan artikulasi tentang unsur utama dan unsur penunjang dalam kesatuantontonan. Babak merupakan unsur penampilan drama yang dapat diinterupsi oleh lawak dan pantomim, selingan terdiri dari musik, tari dan lelang.
            Pementasan sandiwara dibuka oleh bagian yang dinamakan drama yang merupakan bagian yang pertama dan utama dari keseluruhan tontonan ini. Partisipan sandiwara mengidentifikasi drama sebagai bagian yang bercerita dan diperagakan oleh pemeran. Keutamaan drama dalam sandiwara yaitu drama adalah komponen penampilan yang dipikirkan dan dilatihkan pertama kali dalam rentang pra penampilan sandiwara. Dari penampilan drama para penonton mendapatkan kesan-kesan khusus dan mengingat penampilan sandiwara dari tahun-tahun tertentu.
            Baranjak dari drama, ada juga penampilan tari dalam sandiwara yang berfungsi sebagai selingan. Tarian yang ditampilkan dalam sandiwara tergolong beberapa bagian yaitu tari tradisional merupakan tari yang diperoleh secara turun temurun, tari postradisional yaitu tari-tarian baru yang dikembangkan dari tari tradisional, tari nontradisional yaitu tari-tarian baru yang diciptakan tidak dalam kaitan dengan tari tradisional.
            Musik dalam sandiwara merupakan salah satu selingan dalam permainan sandiwara, dengan istilah yaitu lagu dan nyanyi. Kehadiran musik dalam sandiwara, harus sesuai dengan kondisi yang sedang diangkat dalam cerita sandiwara tersebut. kategori musik dalam sandiwara ini tidak bersal dari musik-musik tradisional, melainkan musik-musik modern pada zaman tersebut, misalnya saja musik pop, lagu-lagu band dan lain-lain.
            Unsur yang paling ditunggu-tunggu yaitu lawak yang kehadirannya menunjukkan bahwa para partisipan sandiwara mengharapkan pula pementasan menjadi pelipur lara sekagus ruang berekreasi layaknya sebuah hiburan. Lawak juga merupakan bagian dari unsur drama, ketika salah seorang tokoh dengan tingkah lakunya atau kharaternya yang komikal, dengan ekspresi tubuhnya sudah memancing rasa geli penonton. lawak dalam sandiwara ditampilkan secara mandiri sebagai bagian dari selingan. Penampilan lawak sebagai sesi tersendiri dapat dianggap lakon tersendiri yang biasanya tidak tertulis dan tanpa proses latihan.
            Unsur yang terakhir dalam sandiwara yaitu lelang, yang merupakan salah satu acara yang diletakan pada bagian selingan yang terkadang dinamakan dengan lelang kue atau lelang singgang. Lelang merupakan acara yang aktifitas utamanya adalah penjualan terbuka di mana semua orang dapat berkompetisi untuk membeli dengan cara menawarkan harga tertinggi. Lelang dalam sandiwara berkembang sedemikian rupa sehingga kuat indikasi yang menunjukkan bahwa tanpa acara lelang, sebuah kesatuan tontonan tidak diindentifikasi sebagai sandiwara.
             Sandiwara sebagai teater postkolonial, yang merupakan sandiwara yang berkembang setelah berakhirnya kolonialisme. Kajian postkolonial dapat dilihat sebagai diskursus kritis yang tidak saja merupakan efek tekstual yang ditinggalkan kolonialisme. Hadirnya sandiwara di tengah-tengah masyarakat Minangkabau dapat dipandang sebagai kehadiran sebuah strategi artistik baru yang menantang keberadaan strategi-strategi artistik yang telah ada dan mapan sebelumnya, misalnya randai.
            Sekitar akhir tahun 1960-an hingga awal 1970-an sandiwara mulai mendapat tempat yang luas dalam masyarakat Minangkabau. Sandiwara tumbuh dalam interaksi antara berbagai anasir seni dramatik dengan tujuan, pola, dan gaya yang dipengaruhi oleh semangat pada zaman masing-masing. Sandiwara merupakan bagian dari proses hibridasi yaitu pembauran beberapa tradisi pementasan seni dramatik. Jika dibandingkan dengan randai, randai dikembangkan dan tumbuh dalam lingkungan tradisional, sementara sandiwara tumbuh dalam dua ruang lingkup yaitu sekolah-sekolah atau kaum terpelajar dan rombongan profesinal dalam bentuk sandiwara keliling.
            Proses hibrida yang kompleks memberikan petunjuk tentang anasir kesenian prakolonial dalam tradisi dramatik di Sumatera Barat. tradisi randai yang berbetuk tarian naratif sebagaimana dikemukakan oleh Ediwar. Randai naratif ini semula mendapatkan pengaruh dari opera melayu dan tonil lalu berkembang menjadi sandiwara dan randai, akhirnya melahirkan sandiwara. Kelahiran sandiwara sebagai strategi artisti yang diperbaharui dalam masyarakat Minangkabau menunjukkan beberapa hal sebagai latar belakangnya, sebagai respons atas kondisi sezaman, sandiwara adalah pantulan dari kesadaran akan adanya realitas kehidupan baru, yakni kehidupan moderen.
            Kelahiran sandiwara memeperlihatkan bahwa, teater ini hidup dalam suatu masyarakat ketia beberapa kebudayaan yang berbeda bertemu dalam suatu ruang sosial yang sama. Sandiwara dapat dikatakan sebagai teater yang menyerap berbagai elemen teaterikal yang dibawa oleh berbagai komunitas yang multikultur dari budaya asal masing-masing. Akibatnya, sandiwara dapat dipahami sebagai bentuk akumulatif dari berbagai pengaruh seni dramatik, baik yang datang dari tonil, opera melayu, sandiwara, maupun randai.
            Dramaturgi sandiwara memiliki dua pola kreativitas, yaitu mimikri dan transkulturasi. Mimikri secara sederhana dapat diartikan sebagai proses meniru oleh masyarakat terkoloni terhadap pengkoloninya untuk tunduk meniru penjajah dengan mengadopsi kebiasaan, budaya, asumsi-asumsi, lembaga, serta nilai-nilai yang dianut sang penjajah. Transkulturasi dapat diartikan sebagai proses menyerap dan mengambil aspek-aspek dari budaya lain untuk menciptakan genre-genre, gagasan-gagasan, dan identitas-identitas-identitas baru.
            Tercermin bahwa, sandiwara merupakan kesenian yang moderen dibandingkan dengan randai. Terlihat dari segi artistik yang dipakainya, kalau randai tidak menggunakan pentas, hanya dilapangan terbuka saja. Sandiwara juga menggunakan bahasa nasional yaitu bahasa indonesia  dan melayu dalam beberapa carito. Sedangkan randai menggunakan bahasa daerah, karena randai merupakan kesenian yang tradisional sesuai dengan bahasa daerah tersebut.
            Lakon dalam sandiwara sebagian besar bersumber dari tradisi lisan bakaba sehingga lebih terlihat sebagai sebuah keberkelanjutan dari tradisi masyarakat Minangkabau. Kaba tersebut yang disampaikan secara lisan menjadi sebuah cerita dalam sandiwara terlihat sebagai pengaruh yang ditinggalkan oleh opera melayu maupun tonil. Cerita yang dibuat para tukang karang dalam sandiwara berpotensi untuk menjadi perwujudan dari konsep-konsep satir dan parodi.
            Tujuan menulis sejarah lokal melalui cerita, tampak melalui bagaimana cerita dalam sandiwara secara tidak langsung merefleksikan dan merefraksikan perjalanan sosio-kultural orang Minangkabau, yaitu dari masyarakat feodal ke masyarakat modal dan akhirnya masyarakat industri. Kesan tentang penulisan sejarah lokal semakin kuat dirasakan dengan memperhatikan logika-logika cerita.
            Tema-tema yang dihadirkan dalam cerita sandiwara berupa persoalan-persoalan klasik tentang harga diri, balas dendam, dan percitaan pribadi bergerak menjadi perjuangan, harga diri dan balas dendam yang lebih umum atau lebih menunjukkan gambaran kekinian. Begitu banyaknya yang akan bisa diangkat menjadi tema suatu pementasan sandiwara, tetapi tidak sembarangan untuk memilih tema tersebut, tema harus sesuai dengan keadaan atau kondisi masyarakat masing-masing pada zamannya.
            Tumbuhnya sandiwara sebagai teater rakyat didorong oleh kerangka sosial tempat masyarakat Minangkabau tengah beralih dari kondisi-kondisi tradisionalnya untuk memasuki kerangka sosial baru, yakni kerangka modernitas. Perkembangan sandiwara sebagai teater rakyat dalam masyarakat Minangkabau mengungkapkan adanya kesadaran baru terhadap seni dramatik dalam masyarakat Minangkabau. Sandiwara memperlihatkan adanya gejala inkonsistensi dari partisipasinya sendiri.
            Sandiwara merupakan potret poskolonial, yaitu seni dramatik yang menunjukkan kemampuan masyarakat likao untuk memperkuat idiom seni pertunjukan tradisi mereka dengan mengambil bentuk-bentuk drama barat maupun timur secara kolektif. Sandiwara merupakan teater rakyat dalam masyarakat Minangkabau, yakni seni dramatik yang diterima secara luas oleh berbagai kalangan dalam masyarakat yang sekaligus merefleksikan kesadaran politik rakyat  sebuah negara atau semangat kerakyatan.

           
                       
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar