Sandiwara
yang biasanya disebut dengan sandiwara kampung, yang merupakan nama sebuah seni
teater dalam masyarakat luas di Minangkabau era tahun 60-an samapi 90-an.
Perkembangan tersebut, ditandai dengan adanya pergelaran karya-karya seni di
tempat. Perayaan biasanya dilakukan dalam rangka penyambutan hari raya idul
fitri, idul adha, hari-hari besar. Penonton dapat berpindah-pindah menontonnya
dari suatu nagari ke nagari lainnya, karena banyaknya pergelarannya di suatu
tempat tertentu.
Masa
itu sandiwara memperoleh posisi yang penting dalam masyarakat Minangkabau di
Sumatera Barat. sandiwara bukan hanya sekedar menjadi bahan tontonan, tetapi
juga mengambil bagian yang penting dalam
aktifitas masyarakat di lingkungan nagari. Posisi penting tersebut ditandai
dengan ikut keterlibatannya masyarakat tersebut dalam menyelenggarakannya dan
saling mendukung kegiatan tersebut.
Namun,
seiring dengan perkembangan waktu masuknya budaya moderen menyebabkan lunturnya
budaya tersebut. sudah banyak kita jumpai bahwa, banyaknya kesenian yang hanya
tinggal nama saja sekarang. Hal tersebut, karena tidak ada masyarakat setempat
yang peduli dengan kesenian daerahnya. tidak adanya generasi penerus yang mampu
membawakannya. Banyak alasan yang menyebabkan suatu kesenian itu mati atau
punah. Perlu diketahui, bahwa suatu kesenian nagari merupakan ciri khas dari
nagari tersebut, jadi memiliki peran yang sangat penting dalam melestarikan
kesenian tersebut.
Perlu
dilakukannya revitalisasi untuk dapat menghidupkan kembali kesenian–kesenian
yang menjadi penyemarak nagari tersebut.
penamaan sandiwara tersebut mengingatkan kita kepada sejarah seni
dramatik indonesia. Sebenarnya, sandiwara merupakan istilah dalam bahasa Jawa
yang digunakan untuk pengganti kata toneel yang berarti “ drama”. Semulanya
sandiwara adalah seni dramatik yang dikembangkan oleh masyarakat indonesia
dalam melawan hegemoni budaya kolonial. Fakta sejarah yang membuka kemungkinan
terjadinya reaktualisasi semangat pengajaran yang terselubung dalam sandiwara,
atau bahkanreaktualisasi semangat atas seni pementasan dramatik.
Kehadiran
sandiwara di tengah masyarakat Minangkabau dengan masuknya budaya modern yang
menyebabkan mempengaruhi kesenian tersebut. pada mula orang-orang yang bergiat
untuk menciptakan yang baru misalnya randai, mereka dahulunya tergolong ke
dalam kelompok sandiwara. Dari sandiwara berkembang menjadi bentuk-bentuk lain
dari kesenian yang banyak kita jumpai sekarang yang sudah dikemas dalam bentuk
moderen.
Sandiwara
tumbuh dan berkembang dari suatu masyarakat, yang menjadi ciri khas dari
masyarakat tersebut, dan kemudian mundur dalam masyarakat Minangkabau. Untuk
itu perlunya perhatian yang lebih khusus dalam hal ini. Untuk dapat memahami
tentang sandiwara, maka ada ilmu yang memperlajarinya yaitu dengan adanya
istilah dramaturgi. Dramaturgi merupakan salah satu disiplin ilmu yang
mempelajari hukum dan konvensi drama.
Berbicara
tentang dramaturgi sandiwara, adanya konvensi-konvensi tertentu mengenai sebuah
sandiwara. Untuk itu ada beberapa pendekatan yaitu sosiologi teater, dramaturgi
sandiwara dapat dipahami dengan memperhatikan konteks dimana diproduksi,
distribusikan, dan tujuan akhirnya bagi konsumen. Hal tersebut dalam sosilogi
teater tentang penonton teater sebagai kelompok sosial, pementasan teater
sebagai produk kerangka sosial, pekerja teater sebagai kelompok sosial, fungsi
sosial teater.
Dikatakan
seni pertunjukan merupakan sesuatu yang diprodusi dan kemudian diperagakan
kepada penonton. dalam menciptakan suatu karya pertunjukan yang menjadi penentu
yaitu penonton, tanpa penonton tidak lengkap suatu karya dikatan seni
pertunjukan. untuk itu dalam menciptakan pergelaran teater tersebut harus
mengobservasi tipe-tipe penontonnya. Penonton yang merupakan masyarakat umum,
yang sudah ada mengenal teater dan ada juga yang belum. Untuk itu perlu ditinjau
untuk mementaskan suatu karya seperti ini atau bagaimana, sesuai dengan tingkat
pendidikan dan pemahaman penontonnya.
Disamping
mengakaji bagaimana penonton, juga dikaji tentang penafsiran teks lakon oleh
sutradara yaitu pembacaan dan menyikapi teks lakon untuk menuju ke pementasan
multidimensional yang merupakan interpretatif dalam penciptaan pementasan drama
hingga pada akhirnya. Dramaturgi tidak hanya mempelajari tentang teks lakon
yang telah dipahami, melainkan juga berkaitan dengan penciptaan teater yaitu
pembangunan aktual dari teks lakon hingga terciptanya suatu pertunjukan teater.
Pendekatan
drama poskolonial, perkembangan dramaturgi terkait erat dengan sejarah dan
merupakan bentuk respons terhadap kondisi sezaman. Sandiwara harus ditinjau
pula dalam perspektif kesejarahan untuk melihat anasir-anasir yang telah
mengontruksi dramaturginya serta disposisi estetika penotonnya. Istilah
sandiwara merupakan asal dari kata toneel yang merupakan usaha masyarakat
pribumi untuk melakukan perlawanan kepada masyarakat asing. Dengan
memperhatikan istilah sandiwara menjelaskan bahwa, adanya pengaruh kolonialisme
belanda terhadap perkembangan drama dan teater di indonesia serta adanya respon
atas pengaruh kolonialisme terhadapat masyarakat bekas penjajah.
Pendekatan
drama poskolonial dapat digunakan untuk membongkar fakta poskolonial. Akibat
dari hegemoni budaya yang dipraktekkan oleh poskolonial beserta
warisan-warisannya dalam hal poskolonial dalam teater, atau lebih khusus
poskolonial dalam sandiwara. Namun cara menyikapai masyarakat kolonial terhadap
poskolonial ataupun kolonialisme melalui seni dramatik atau teater.
Riwayat
sandiwara, masa opera melayu dan tonil; gambaran tentang perkembangan seni
dramatik di Sumatera Barat yang dicatat pertama kali oleh Van Kerckoff dalam
sebuah risalah yang ditulisnya di Payakumbuh. Lakon tonil melayu digemari oleh
penonton Padang karena salah satu faktornya yaitu dari segi bahasa yang sangat
dekat dengan bahasa Minangkabau yang mudah dimengerti. Dimulai dari
perkembangan tonil melayu di Padang, kemudian mulai menyebar di semua kota-kota
di Padang.
Peralihan
dari tonil ke sandiwara, strategi kebudayaan kolonial jepang yang berusaha
melenyapkan berbagai anasir kebudayaan Eropa dari Nusantara dapat dilihat salah
satu faktor yang penting dengan meluasnya istilah sandiwara dikemudian hari. Perkembangan
seni dramatik pada masa pendudukan Jepang ditandai dengan adanya suatu kelompok
komunitas Sandiwara Ratoe Asia yang didirikan pada tahun 1943. Munculnya
grup-grup sandiwara di zaman pendudukan Jepang dikaitakan dengan kelesuan dunia
hiburan. Sebelum pendudukan Jepang orang-orang tonil atau sandiwara telah ikut
meramaikan dunia film yang secara tidak langsung menjadi salah satu faktor
lesunya dunia tonil dan sandiwara itu sendiri.
Kehadiran
Sandiwara Ratoe Asia di Padangpanjang pada tahun 1943 ini dapat dijelaskan
karena kedudukan di Padangpanjang sebagai pusat pendidikan dan sebagai pusat
intelektual. Alasan yang kedua yaitu posisi Padangpanjang yang jauh dari dua
pusat pemerintahan dan pada saat yang sama pusat kontrol kebudayaan oleh jepang
yaitu Bukittinggi dan Padang. Setelah proklamasi, kelompok Sandiwara Ratoe Asia
berkembang menjadi sandiwara keliling yang membantu perjuangan rakyat
menghadapi Agresi Militer Belanda.
Sandiwara
keliling semacam Sandiwara Ratoe Asia inilah yang menginspirasi beberapa
rombongan sandiwara lain di Sumatera Barat setelah Proklamasi Kemerdekaan RI,
salah satunya, ditunjukkan oleh gejala “sandiwara laskar” yaitu para pejuang
republik yang menginisiasi pementasan-pementasan sandiwara. Tahun 1950-an di
Sumatera Barat berkembang dua tipe sandiwara yaitu sandiwara keliling yang
dilaksanakan dari pasar malam ke pasar malam dan sandiwara pelajar yang digelar
oleh sekolah-sekolah.
Sandiwara
keliling adalah kelanjutan dari gejala rombongan pementasan opera melayu, sedangkan
sandiwara pelajar digerakkan oleh para guru-guru yang mendapatkan pendidikan
sekolah guru. Lakon-lakon yang dimainkan oleh sandiwara pelajar lebih banyak
ditujukan untuk kepentingan pendidikan, terutama sejarah perjuangan bangsa dan
nilai-nilai nasionalisme. Berdasarkan tema-tema lakonnya, muncul sandiwara
pelajar di Sumatera Barat pada tahun awal-awal kemerdekaan dapat dilihat
sebagai kelanjutan dari apa yang dinamakan oleh A Teeuw sebagai “ drama
sejarah”yang berkembang pada masa pergerakan kebangsaan.
Contoh
dari drama sejarah di Lubuak Batingkok Limapuluh Kota, ada lakon Katotuo Lautan
Api yang menceritakan kejadian yang dialami oleh masyarakat setempat dalam masa
Agresi Militer Belanda. Selain dari drama sejarah pada era yang sama berkembang
pula drama pendidikan, yang keduanya berlangsung dalam dunia pendidikan dengan
guru-guru sebagai motornya, dan para pelajar sebagai pemainnya. Menjelang
pemilu pertama RI tahun 1955, di Sumatera Barat berkembang pula” sandiwara
partai” itu sesuai dengan partai politiknya masing-masing.
Era
sandiwara masuk kampung, peritiwa yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai
zaman peri-peri merupakan salah satu momentum dalam perjalanan sejarah
masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. para perantau Minangkabau ini,
terutama yang berada di jakarta. Selain mengembangkan organisasi-organisasi
persatuan berdasarkan daerah asal, juga mendirikan organisasi kesenian. salah
satu kesenian yang didirikan para perantau Minangkabau adalah BKAM ( Badan
Kesenian Alam Minangkabau) di Jakarta yang gencar mempromosikan kesenian
Minangkabau. Salah satu kegiatan mereka adalah pementasan sandiwara dengan
lakon cinduo mato-kaba yang paling populer dalam masyarakat Minangkabau.
Selain
itu juga mendirikan sanggar-sanggar seniyang mementaskan karya di TVRI Jakarta.
Gejala-gejala yang disebut terakhir ini dapat dilihat sebagai bagian dari
“involusi kebudayaan” Minangkabau yang berkembang terutama pada akhir 1960-an. Di
Sumbar, involusi kebudayaan ditandai dengan berdirinya kokar (konservatori
karawitan) pada 1968, kemudian dikenal dengan ASKI Padangpanjang. Pada akhir
dekade 1960-an, berkembang rombongan-rombongan sandiwara profesional di
Sumatera Barat yang datang dari berbagai daerah dan melaksanakan pertunjukannya
dipasar-pasar malam. Grup-grup sandiwara profesional ini mengaktualkan kembali
gaya-gaya pementasan bangsawan, yaitu gabungan antara seni peran, nyanyian, dan
tarian.
Sandiwara
di balai salasa, yang dibuktikan dengan dokumentasi yang menandai tentang
kegiatan sandiwara didapatkan dari balai salasa (palangai). Nagari ini adalah
salah satu dari dua nagari yang termasuk ke dalam wilayah kecamatan ranah
Pesisir, Kabupaten Pesisir Selatan. Dari balai salasa, pertunjukan yang digelar beberapa hari setelah Idul Fitri
tahun 1975 membawa cerita Talipuak Layua Nan Dandam, sebuah cerita yang
bertemakan tentang cinta tak sampai.
Talipuak Layua merupakan kaba yang cukup populer dalam masyarakat
Minangkabau pada umumnya.
Penonton
dalam sandiwara balai salasa ini yang terdiri atas berbagai usia, dengan posisi
penonton yang tidak tertata rapi, mereka dapat memilih tempat yang dianggap
mereka adalah tempat yang paling nyaman, artinya tidak ada perbedaan tempat
bagi penontonnya. Suasana yang terdapat di balai salasa tersebut, pentasnya
dari los pasar balai salasa tersebut, bangunan tersebut ditutup dengan atap
rumbio yaitu sejenis atap rumah tradisional yang terbuat dari daun. Penggerak
sandiwara di balai salasa ini merupakan seorang guru SD bernama Sahar yang juga
merupakan ketua pemuda setempat. Ia dibantu oleh seorang guru perempuan yang
biasanya mengajar tari-tarian.
Sebagian
besar seni pertunjukan merupakan bentuk komunikasi budaya, baik sebagai bentuk
internalisasi dan enkulturasi ke dalam masyarakat pendukunya sendiri maupun
sebagai bentuk ekspresi dan sosialisasi identitas dari masyarakat pendukung
kesenian itu. Paradigma utama yang digunakan dalam proses identitas diri dan
dunia itu adalah adaik (adat) yang dibayangkannya tetap bertahan, melintasi
generasi ke generasi. Adat Minangkabau dimaknai sebagai hasil sintesis dengan
agama dan dipahami sebagai hal yang tidak terpisahkan lagi satu sama lainnya. Terlihat
yaitu “ Adaiak Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.
Masyarakat
Minangkabau membagi wilayahnya menjadi dua bagian yaitu luhak dan rantau juga
digambarkan sebagai darek dan pesisia. Bukti hubungan adaiak dengan agama yaitu
meski secara umum kesenian Minangkabau memiliki keterikatan dengan
bentuk-bentuk sastra lisan, dapat dilihat adanya perbedaan. Sebagian kesenian
menunjukkan adanya ucapan dzikir dan shalawat, dan yang lainnya dengan adanya
petatah-petitih adaiak, bisa dilihat pada indang dan randai.
Kembali
lagi pada pembahasan sandiwara, yang merupakan sebuah bentuk atau jenis seni
pertunjukan yang dikategorikan ke dalam drama yaitu mempertontonkan lakuan
manusia. Teater itu sendiri memiliki pengertian yaitu seni pertunjukan drama
atau seni pertunjukan lakon. Antara randai dan sandiwara memiliki perbedaan
dalam bahasa, dalam randai lebih cenderung menggunakan gaya bahasa (majas),
sedangkan sandiwara hanya seperti percakapan sehari-hari saja.
Unsur
yang paling substansial dalam sandiwara adalah drama. Para pemain sandiwara
mengenal dua istilah yang mengidentifikasi seni peran sebagai substansi
sandiwara secara lebih eksplisit. Dua iastilah lain yang disamakan dengan
sandiwara oleh para pendukung sandiwara adalah komedi dan tonil. Terdapat pula
istilah yang digunakan untuk kesatuan tontonan dramatik bukan randai dalam
masyakarat Minangkabau dimasa sekarang yaitu tonil klasik Minang, drama Minang,
sandiwara Minang.
Tidak
kurang dari randai dan tupai janjang, di tengah-tengah masyarakat
Minangkabau sandiwara tumbuh dan
berkembang menjadi tontonan yang digemari. Pementasan sandiwara ini berlangsung
selama tiga hingga tujuh hari, tidak pernah kekurangan penonton, bahkan tidak
hanya penonton dari daerah tersebut, bahkan dari daerah lain. Posisi sandiwara
yang periferal dengan hadirnya tiga pentas yaitu Gedung Nasional, Gedung
Pemuda, Gedung Serbaguna.
Dramaturgi
khas sandiwara, tidak hanya diartikan sebagai perkembangan unsur-unsur dalam
sebuah cerita yang dipentaskan, namun juga sebagai totalitas kegiatan yang
dilalui dalam penciptaan suatu karya seni dramatik. Pementasan sandiwara pada
dasarnya ditempatkan ke dalam dua bagian utama yaitu, babak dan selingan.
Penempatan ini memberikan artikulasi tentang unsur utama dan unsur penunjang
dalam kesatuantontonan. Babak merupakan unsur penampilan drama yang dapat
diinterupsi oleh lawak dan pantomim, selingan terdiri dari musik, tari dan
lelang.
Pementasan
sandiwara dibuka oleh bagian yang dinamakan drama yang merupakan bagian yang
pertama dan utama dari keseluruhan tontonan ini. Partisipan sandiwara
mengidentifikasi drama sebagai bagian yang bercerita dan diperagakan oleh
pemeran. Keutamaan drama dalam sandiwara yaitu drama adalah komponen penampilan
yang dipikirkan dan dilatihkan pertama kali dalam rentang pra penampilan
sandiwara. Dari penampilan drama para penonton mendapatkan kesan-kesan khusus
dan mengingat penampilan sandiwara dari tahun-tahun tertentu.
Baranjak
dari drama, ada juga penampilan tari dalam sandiwara yang berfungsi sebagai
selingan. Tarian yang ditampilkan dalam sandiwara tergolong beberapa bagian
yaitu tari tradisional merupakan tari yang diperoleh secara turun temurun, tari
postradisional yaitu tari-tarian baru yang dikembangkan dari tari tradisional,
tari nontradisional yaitu tari-tarian baru yang diciptakan tidak dalam kaitan
dengan tari tradisional.
Musik
dalam sandiwara merupakan salah satu selingan dalam permainan sandiwara, dengan
istilah yaitu lagu dan nyanyi. Kehadiran musik dalam sandiwara, harus sesuai
dengan kondisi yang sedang diangkat dalam cerita sandiwara tersebut. kategori
musik dalam sandiwara ini tidak bersal dari musik-musik tradisional, melainkan
musik-musik modern pada zaman tersebut, misalnya saja musik pop, lagu-lagu band
dan lain-lain.
Unsur
yang paling ditunggu-tunggu yaitu lawak yang kehadirannya menunjukkan bahwa
para partisipan sandiwara mengharapkan pula pementasan menjadi pelipur lara
sekagus ruang berekreasi layaknya sebuah hiburan. Lawak juga merupakan bagian
dari unsur drama, ketika salah seorang tokoh dengan tingkah lakunya atau
kharaternya yang komikal, dengan ekspresi tubuhnya sudah memancing rasa geli
penonton. lawak dalam sandiwara ditampilkan secara mandiri sebagai bagian dari
selingan. Penampilan lawak sebagai sesi tersendiri dapat dianggap lakon
tersendiri yang biasanya tidak tertulis dan tanpa proses latihan.
Unsur
yang terakhir dalam sandiwara yaitu lelang, yang merupakan salah satu acara
yang diletakan pada bagian selingan yang terkadang dinamakan dengan lelang kue
atau lelang singgang. Lelang merupakan acara yang aktifitas utamanya adalah
penjualan terbuka di mana semua orang dapat berkompetisi untuk membeli dengan
cara menawarkan harga tertinggi. Lelang dalam sandiwara berkembang sedemikian
rupa sehingga kuat indikasi yang menunjukkan bahwa tanpa acara lelang, sebuah
kesatuan tontonan tidak diindentifikasi sebagai sandiwara.
Sandiwara sebagai teater postkolonial, yang
merupakan sandiwara yang berkembang setelah berakhirnya kolonialisme. Kajian
postkolonial dapat dilihat sebagai diskursus kritis yang tidak saja merupakan
efek tekstual yang ditinggalkan kolonialisme. Hadirnya sandiwara di
tengah-tengah masyarakat Minangkabau dapat dipandang sebagai kehadiran sebuah
strategi artistik baru yang menantang keberadaan strategi-strategi artistik
yang telah ada dan mapan sebelumnya, misalnya randai.
Sekitar
akhir tahun 1960-an hingga awal 1970-an sandiwara mulai mendapat tempat yang
luas dalam masyarakat Minangkabau. Sandiwara tumbuh dalam interaksi antara
berbagai anasir seni dramatik dengan tujuan, pola, dan gaya yang dipengaruhi
oleh semangat pada zaman masing-masing. Sandiwara merupakan bagian dari proses
hibridasi yaitu pembauran beberapa tradisi pementasan seni dramatik. Jika
dibandingkan dengan randai, randai dikembangkan dan tumbuh dalam lingkungan
tradisional, sementara sandiwara tumbuh dalam dua ruang lingkup yaitu
sekolah-sekolah atau kaum terpelajar dan rombongan profesinal dalam bentuk
sandiwara keliling.
Proses
hibrida yang kompleks memberikan petunjuk tentang anasir kesenian prakolonial
dalam tradisi dramatik di Sumatera Barat. tradisi randai yang berbetuk tarian
naratif sebagaimana dikemukakan oleh Ediwar. Randai naratif ini semula mendapatkan
pengaruh dari opera melayu dan tonil lalu berkembang menjadi sandiwara dan
randai, akhirnya melahirkan sandiwara. Kelahiran sandiwara sebagai strategi
artisti yang diperbaharui dalam masyarakat Minangkabau menunjukkan beberapa hal
sebagai latar belakangnya, sebagai respons atas kondisi sezaman, sandiwara
adalah pantulan dari kesadaran akan adanya realitas kehidupan baru, yakni
kehidupan moderen.
Kelahiran
sandiwara memeperlihatkan bahwa, teater ini hidup dalam suatu masyarakat ketia
beberapa kebudayaan yang berbeda bertemu dalam suatu ruang sosial yang sama. Sandiwara
dapat dikatakan sebagai teater yang menyerap berbagai elemen teaterikal yang
dibawa oleh berbagai komunitas yang multikultur dari budaya asal masing-masing.
Akibatnya, sandiwara dapat dipahami sebagai bentuk akumulatif dari berbagai
pengaruh seni dramatik, baik yang datang dari tonil, opera melayu, sandiwara,
maupun randai.
Dramaturgi
sandiwara memiliki dua pola kreativitas, yaitu mimikri dan transkulturasi.
Mimikri secara sederhana dapat diartikan sebagai proses meniru oleh masyarakat
terkoloni terhadap pengkoloninya untuk tunduk meniru penjajah dengan mengadopsi
kebiasaan, budaya, asumsi-asumsi, lembaga, serta nilai-nilai yang dianut sang
penjajah. Transkulturasi dapat diartikan sebagai proses menyerap dan mengambil
aspek-aspek dari budaya lain untuk menciptakan genre-genre, gagasan-gagasan,
dan identitas-identitas-identitas baru.
Tercermin
bahwa, sandiwara merupakan kesenian yang moderen dibandingkan dengan randai.
Terlihat dari segi artistik yang dipakainya, kalau randai tidak menggunakan
pentas, hanya dilapangan terbuka saja. Sandiwara juga menggunakan bahasa
nasional yaitu bahasa indonesia dan
melayu dalam beberapa carito. Sedangkan randai menggunakan bahasa daerah,
karena randai merupakan kesenian yang tradisional sesuai dengan bahasa daerah
tersebut.
Lakon
dalam sandiwara sebagian besar bersumber dari tradisi lisan bakaba sehingga
lebih terlihat sebagai sebuah keberkelanjutan dari tradisi masyarakat Minangkabau.
Kaba tersebut yang disampaikan secara lisan menjadi sebuah cerita dalam
sandiwara terlihat sebagai pengaruh yang ditinggalkan oleh opera melayu maupun
tonil. Cerita yang dibuat para tukang karang dalam sandiwara berpotensi untuk
menjadi perwujudan dari konsep-konsep satir dan parodi.
Tujuan
menulis sejarah lokal melalui cerita, tampak melalui bagaimana cerita dalam
sandiwara secara tidak langsung merefleksikan dan merefraksikan perjalanan
sosio-kultural orang Minangkabau, yaitu dari masyarakat feodal ke masyarakat
modal dan akhirnya masyarakat industri. Kesan tentang penulisan sejarah lokal
semakin kuat dirasakan dengan memperhatikan logika-logika cerita.
Tema-tema
yang dihadirkan dalam cerita sandiwara berupa persoalan-persoalan klasik tentang
harga diri, balas dendam, dan percitaan pribadi bergerak menjadi perjuangan,
harga diri dan balas dendam yang lebih umum atau lebih menunjukkan gambaran
kekinian. Begitu banyaknya yang akan bisa diangkat menjadi tema suatu
pementasan sandiwara, tetapi tidak sembarangan untuk memilih tema tersebut,
tema harus sesuai dengan keadaan atau kondisi masyarakat masing-masing pada
zamannya.
Tumbuhnya
sandiwara sebagai teater rakyat didorong oleh kerangka sosial tempat masyarakat
Minangkabau tengah beralih dari kondisi-kondisi tradisionalnya untuk memasuki
kerangka sosial baru, yakni kerangka modernitas. Perkembangan sandiwara sebagai
teater rakyat dalam masyarakat Minangkabau mengungkapkan adanya kesadaran baru
terhadap seni dramatik dalam masyarakat Minangkabau. Sandiwara memperlihatkan
adanya gejala inkonsistensi dari partisipasinya sendiri.
Sandiwara
merupakan potret poskolonial, yaitu seni dramatik yang menunjukkan kemampuan
masyarakat likao untuk memperkuat idiom seni pertunjukan tradisi mereka dengan
mengambil bentuk-bentuk drama barat maupun timur secara kolektif. Sandiwara
merupakan teater rakyat dalam masyarakat Minangkabau, yakni seni dramatik yang
diterima secara luas oleh berbagai kalangan dalam masyarakat yang sekaligus
merefleksikan kesadaran politik rakyat sebuah negara atau semangat kerakyatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar